JAKARTA - Sentimen geopolitik kembali menjadi penentu arah pergerakan harga minyak dunia. Di tengah ketidakpastian seputar perang Ukraina dan kebijakan perdagangan Amerika Serikat, harga minyak mentah dunia kembali mengalami tekanan. Di pasar global, para pelaku komoditas bersikap lebih berhati-hati menyusul keputusan Presiden AS Donald Trump memberikan tenggat waktu 50 hari bagi Rusia untuk menghentikan agresi militernya.
Perdagangan minyak pada Selasa, 15 Juli 2025 ditutup dengan koreksi moderat di bawah 1%, sejalan dengan pergeseran sentimen pasar terhadap kemungkinan gangguan pasokan. Harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak pengiriman September 2025 ditutup turun 50 sen atau 0,7%, berada di posisi US$ 68,71 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah berjangka jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Agustus 2025 ikut melemah 46 sen atau 0,7% ke level US$ 66,52 per barel.
UBS melalui analis komoditasnya, Giovanni Staunovo, menjelaskan faktor utama yang menahan laju penguatan harga minyak adalah pernyataan Presiden Trump terkait tenggat waktu tambahan bagi Rusia. “Fokusnya tertuju pada Donald Trump. Ada kekhawatiran ia mungkin akan segera menjatuhkan sanksi kepada Rusia, dan sekarang ia telah memberikan waktu 50 hari lagi,” jelas Staunovo.
- Baca Juga Minyak Naik Dipicu Optimisme Ekonomi
Dengan keputusan tersebut, pasar menilai potensi disrupsi pasokan minyak dalam jangka pendek berkurang. “Kekhawatiran tentang pengetatan tambahan yang akan segera terjadi di pasar telah mereda. Itulah berita utamanya,” lanjutnya.
Harapan Penundaan Sanksi Jaga Harga Minyak Tetap Terkendali
Beberapa hari terakhir, harga minyak sempat mengalami penguatan seiring spekulasi sanksi tambahan AS kepada Rusia. Namun, nada optimisme kembali muncul karena tenggat waktu 50 hari dianggap sebagai ruang negosiasi yang dapat mencegah sanksi lebih keras.
Analis dari ING menyebutkan dalam sebuah catatan, jika sanksi benar-benar diberlakukan, dampaknya dapat sangat signifikan terhadap pasar minyak global. “Jika sanksi yang diusulkan diterapkan, hal itu akan mengubah prospek pasar minyak secara drastis,” tulis ING.
Pasar pun mulai menghitung ulang kemungkinan langkah negara-negara pembeli utama minyak Rusia seperti China, India, dan Turki. “China, India, dan Turki adalah pembeli minyak mentah Rusia terbesar. Mereka perlu mempertimbangkan manfaat membeli minyak mentah Rusia yang didiskon dengan biaya ekspor mereka ke AS,” jelas ING.
Kekhawatiran Ekonomi Global Membayangi Prospek Permintaan
Tak hanya isu geopolitik, pasar minyak dunia juga dirundung sentimen negatif dari meningkatnya risiko perang dagang. Presiden Trump pada akhir pekan lalu mengumumkan rencana pengenaan tarif baru sebesar 30% untuk sebagian besar produk impor dari Uni Eropa dan Meksiko mulai 1 Agustus. Selain itu, Trump kembali menegaskan pengiriman senjata baru ke Ukraina, yang memperumit situasi geopolitik di kawasan Eropa Timur.
Dampak dari kebijakan tarif tersebut berpotensi melambatkan pertumbuhan ekonomi global. “Tarif meningkatkan risiko pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, yang dapat mengurangi permintaan bahan bakar global dan menurunkan harga minyak,” jelas pengamat pasar.
Brasil turut menyuarakan kekhawatiran mereka. Wakil Presiden Brasil, Geraldo Alckmin, mengatakan negaranya akan mengupayakan pembatalan tarif 50% untuk seluruh produk ekspor ke AS, sembari membuka opsi perpanjangan waktu negosiasi. “Kami berharap tarif itu bisa dibatalkan secepat mungkin, namun tetap menyiapkan ruang untuk bernegosiasi,” kata Alckmin.
Perlambatan China Tambah Beban Pasar Energi
Selain ancaman sanksi dan tarif, perlambatan ekonomi di China ikut memberikan tekanan tersendiri bagi pasar minyak. Data terbaru yang dirilis Selasa menunjukkan ekonomi China tumbuh melambat pada kuartal kedua 2025, dengan penurunan ekspor, penurunan harga, serta kepercayaan konsumen yang belum pulih.
Namun beberapa analis menganggap data pertumbuhan tersebut tidak seburuk yang dikhawatirkan. Tony Sycamore dari IG menyebutkan, “Pertumbuhan ekonomi di China berada di atas konsensus, sebagian besar karena dukungan fiskal yang kuat dan peningkatan produksi dan ekspor untuk mengalahkan tarif AS.”
Analis senior di Price Futures Group, Phil Flynn, mengamini sentimen tersebut. “Data ekonomi China semalam cukup mendukung,” ujarnya.
Meski demikian, secara umum pasar tetap berhati-hati melihat dampak perlambatan ekonomi China terhadap prospek permintaan energi global.
OPEC Optimistis Permintaan Minyak Tetap Kuat
Di tengah tekanan ekonomi global dan geopolitik, organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) masih melihat prospek permintaan minyak yang positif, setidaknya dalam jangka pendek. Menurut laporan media Rusia, Sekretaris Jenderal OPEC optimistis permintaan minyak akan tetap “sangat kuat” setidaknya hingga kuartal ketiga tahun ini.
Sementara dari sisi pasokan, data American Petroleum Institute (API) menunjukkan stok minyak mentah AS naik sebesar 839.000 barel dalam sepekan terakhir. Angka resmi dari pemerintah AS dijadwalkan rilis pada Rabu, yang akan menjadi acuan baru bagi pelaku pasar energi global.
Dengan berbagai sentimen yang berbaur dari risiko geopolitik, perang dagang, perlambatan ekonomi China, hingga data pasokan AS, arah harga minyak dunia diprediksi akan tetap volatile dalam waktu dekat.