JAKARTA – Di tengah tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), perusahaan-perusahaan Indonesia dinilai tetap dalam posisi tangguh dan mampu menghadapi tantangan pelemahan mata uang. Hal ini diungkapkan oleh dua lembaga pemeringkat internasional terkemuka, S&P Global Ratings dan Fitch Ratings, dalam laporan terbarunya.
S&P Global Ratings menyampaikan bahwa kondisi korporasi di Indonesia saat ini jauh lebih kuat dibandingkan periode sebelumnya, termasuk ketika Indonesia menghadapi krisis keuangan di akhir 1990-an. Berbagai faktor seperti pengelolaan utang yang lebih bijak, penurunan leverage keuangan, dan peningkatan akses pendanaan domestik disebut sebagai fondasi utama ketahanan tersebut.
“Kami yakin korporasi di Indonesia lebih tangguh terhadap depresiasi rupiah bila dibandingkan dengan siklus pelemahan sebelumnya,” ujar Xavier Jean, Direktur Senior S&P Global Ratings.
Leverage Menurun dan Akses Pendanaan Domestik Meningkat
Menurut S&P, salah satu alasan utama meningkatnya ketahanan korporasi adalah karena leverage finansial sudah jauh menurun dibandingkan masa puncak pandemi COVID-19. Banyak perusahaan telah memperbaiki struktur pendanaannya dengan memanfaatkan suku bunga bank domestik yang lebih rendah untuk melakukan refinancing utang dalam bentuk rupiah, sehingga menekan eksposur terhadap fluktuasi kurs valuta asing.
Jean juga menyebut bahwa pelemahan rupiah kali ini terjadi secara lebih gradual dan terkendali, sehingga tidak menimbulkan disrupsi mendalam seperti yang pernah terjadi pada krisis keuangan Asia tahun 1998.
“Kami tidak memperkirakan pelemahan rupiah secara terpisah akan menyetir kredit bagi perusahaan-perusahaan yang kami nilai saat ini. Rupiah dan mata uang regional lainnya telah terkikis secara perlahan selama beberapa waktu dan kami yakini perusahaan, nasabah, juga investor mulai terbiasa dengan kondisi ini tanpa memicu sentimen risk-off yang tajam,” tambah Xavier Jean.
Sektor Rentan Masih Perlu Diwaspadai
Namun, meski menilai korporasi Indonesia secara umum lebih siap, S&P juga menggarisbawahi bahwa tidak semua perusahaan kebal terhadap pelemahan mata uang. Perusahaan-perusahaan yang memiliki utang dalam dolar AS yang jatuh tempo dalam waktu dekat, atau yang tergantung pada impor barang dan jasa, dinilai masih menghadapi risiko yang signifikan. Hal ini terutama berlaku bagi sektor real estate, maskapai penerbangan, serta industri padat energi yang sebagian besar pengeluarannya berbasis valuta asing.
Menurut S&P, meskipun depresiasi rupiah tetap menjadi tantangan, pelemahannya yang terjadi secara perlahan memberikan ruang adaptasi bagi korporasi. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk menyesuaikan struktur biaya, menaikkan harga jual produk, dan memberikan waktu kepada konsumen untuk menyesuaikan diri terhadap harga baru.
Fitch Ratings: Dampak Pelemahan Rupiah Belum Mengkhawatirkan
Sejalan dengan pandangan S&P, lembaga pemeringkat lainnya yaitu Fitch Ratings juga memberikan penilaian positif terhadap daya tahan perusahaan Indonesia. Dalam laporan terpisah, Fitch menyebut bahwa depresiasi rupiah saat ini belum cukup besar untuk menimbulkan risiko serius bagi struktur keuangan korporasi nasional.
“Penurunan lebih lanjut pada rupiah juga diperkirakan memiliki potensi yang minim untuk menimbulkan gangguan signifikan. Sebagian besar perusahaan telah menyesuaikan struktur utangnya, dan sektor perbankan nasional juga dalam kondisi relatif stabil,” demikian disampaikan dalam laporan Fitch Ratings.
Fitch juga menilai dampak depresiasi rupiah terhadap sektor perbankan masih terkendali karena ketidakseimbangan antara pinjaman valas dengan simpanan valas tidak terlalu besar. Meskipun demikian, risiko tetap ada dari sisi debitur, khususnya mereka yang memiliki eksposur terhadap utang valas dalam jumlah besar.
Pendanaan Lewat Obligasi Dolar AS Melambat, Obligasi Rupiah Meningkat
Di tengah ketidakpastian global dan sentimen pasar keuangan yang fluktuatif, penggalangan dana melalui pasar obligasi internasional dalam bentuk dolar AS mengalami penurunan. Berdasarkan data Bloomberg, penerbitan obligasi dolar oleh perusahaan Indonesia mencapai US$2,3 miliar tahun lalu, melambat signifikan sejak titik terendah pada 2023.
Sebaliknya, pemanfaatan pasar domestik dalam mata uang rupiah menunjukkan tren positif. Sepanjang 2024, nilai penerbitan obligasi dalam negeri mencapai Rp143 triliun. Hal ini dinilai sebagai bukti bahwa korporasi Indonesia semakin beralih kepada pendanaan lokal yang lebih stabil dan terjangkau.
S&P menyatakan bahwa meskipun penerbitan obligasi dolar AS melambat, kondisi likuiditas dan biaya pendanaan di dalam negeri telah membaik secara substansial sejak 2022. Ini berkontribusi besar dalam mengurangi risiko likuiditas dan pembiayaan kembali (refinancing) bagi korporasi.
“Likuiditas dan biaya pendanaan dalam sistem perbankan domestik telah membaik secara substansial sejak 2022, sehingga mengurangi risiko likuiditas dan pembiayaan kembali,” terang S&P dalam laporan tersebut.
Outlook Stabil, Ketahanan Jangka Panjang Perlu Dijaga
Dengan semua faktor di atas, baik S&P maupun Fitch memandang outlook korporasi Indonesia masih stabil dalam menghadapi tantangan eksternal, termasuk volatilitas kurs dan dinamika pasar global. Namun demikian, mereka tetap mendorong perusahaan untuk menjaga kehati-hatian, terutama yang masih tergantung pada utang dalam mata uang asing dan pasokan impor.
Kondisi yang lebih stabil saat ini dibandingkan masa krisis sebelumnya dianggap sebagai hasil dari kebijakan fiskal dan moneter yang lebih terkoordinasi, serta upaya korporasi untuk melakukan diversifikasi sumber pembiayaan dan manajemen risiko yang lebih profesional.
Pelemahan nilai tukar rupiah saat ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi perekonomian nasional, namun penilaian dari lembaga pemeringkat global menunjukkan bahwa korporasi Indonesia kini lebih siap dan tangguh dalam menghadapinya. Dengan pengelolaan utang yang lebih hati-hati, peningkatan akses pendanaan dalam negeri, serta kondisi pasar keuangan yang relatif stabil, pelaku usaha dinilai dapat menjaga performa dan keberlanjutan bisnis meskipun terjadi tekanan eksternal.
Kebijakan yang mendorong pembiayaan lokal, stabilitas sektor perbankan, serta disiplin fiskal akan terus menjadi faktor krusial dalam menjaga ketahanan ekonomi nasional, terutama dalam menghadapi gejolak global yang belum sepenuhnya mereda.