JAKARTA - Garuda Indonesia, sebagai maskapai kebanggaan nasional sekaligus flagship airline milik negara, semakin mendapat sorotan dalam persaingan sengit maskapai ASEAN. Meskipun punya sejarah panjang sejak berdiri 31 Maret 1950, dan sempat mencatatkan prestasi gemilang pada 2013-2018 di jajaran 10 besar maskapai dunia versi Skytrax, perjalanan Garuda di panggung internasional ternyata menghadapi tantangan yang lebih kompleks dari sekadar pemulihan pasca-pandemi.
Pandemi Covid-19 memang menjadi titik balik yang menekan performa Garuda. Tingkat keterisian pesawat domestik yang semula rata-rata di atas 70 persen anjlok ke hanya 43 persen pada 2020.Kontribusi penumpang domestik Garuda sangat vital, mencapai 80 persen dari total penumpang. Ketika angka ini merosot, posisi Garuda di pasar langsung terguncang.
Namun tantangan Garuda tak berhenti di situ. Selain efek pandemi, beban biaya perawatan, mahalnya sewa pesawat, hingga lonjakan harga tiket pesawat domestik makin mempersempit ruang gerak Garuda. Untuk menyelamatkan performa, pemerintah melalui Danantara Indonesia mengucurkan pinjaman jumbo senilai 405 juta dolar AS (Rp 6,6 triliun) pada 24 Juni 2025. Suntikan dana ini segera diikuti perombakan direksi pada 30 Juni 2025 — menandai keseriusan pemerintah mendorong transformasi menyeluruh Garuda.
Sayangnya, fakta di lapangan memperlihatkan kesenjangan yang menganga antara Garuda dengan para pesaing utamanya di kawasan. Berdasarkan laporan peringkat Skytrax, reputasi global Garuda terus merosot: dari posisi ke-15 dunia pada 2021 menjadi peringkat 34 di 2024. Sebaliknya, Thai Airways yang sempat terpuruk, justru melompat dari posisi 40 ke peringkat 33 pada 2024. Sementara Singapore Airlines tetap menjadi maskapai nomor satu di dunia, tak tergoyahkan dalam daftar 100 maskapai terbaik.
Lebih parah lagi, jika melihat cakupan rute internasional. Garuda hanya mampu melayani penerbangan langsung ke 5 kawasan, 11 negara, dan 15 kota internasional — mayoritas terkonsentrasi di Asia Timur dan Asia Barat. Ini menempatkan Garuda di posisi paling buncit dibanding maskapai utama ASEAN lainnya. Sebagai perbandingan, Singapore Airlines melayani 8 kawasan, 34 negara, dan 79 kota di seluruh dunia. Thai Airways dan Malaysia Airlines juga terhubung ke 50 kota secara langsung, sementara Vietnam Airlines — yang usianya jauh lebih muda — sudah melayani rute ke lebih banyak kota dan negara ketimbang Garuda.
Garuda sebenarnya memiliki peluang memperluas jaringan dengan strategi codeshare. Namun, di sektor ini pun Garuda tertinggal: hanya memiliki 16 mitra maskapai dari 14 negara, dan sebagian besar menargetkan wilayah sama dengan rute langsung Garuda. Hal ini membuat kerja sama codeshare Garuda nyaris tanpa nilai tambah signifikan. Bandingkan dengan Singapore Airlines yang memiliki lebih dari 30 rekanan di 28 negara, atau Vietnam Airlines dengan 25 mitra dari 21 negara — jaringan mereka terbukti lebih memperluas jangkauan destinasi.
Lemahnya koneksi global ini semakin diperparah dengan keterbatasan armada pesawat berbadan lebar (wide-body). Armada wide-body penting karena mampu menjangkau rute antarbenua hingga lebih dari 12.000 kilometer dengan kapasitas 200-600 penumpang, simbol kesiapan maskapai bermain di pasar global. Garuda hanya mengoperasikan 29 pesawat wide-body, didominasi pesawat narrow-body yang lebih cocok untuk rute jarak dekat. Padahal Singapore Airlines mengoperasikan lebih dari 130 pesawat wide-body dan Thai Airways mengoperasikan lebih dari 60 unit — jumlah yang jelas menunjukkan kemampuan ekspansi mereka di rute internasional.
Minimnya armada wide-body Garuda bukan tanpa sebab. Dalam acara Public Expose (11 November 2024), Direktur Utama Garuda, Irfan Setiaputra, menjelaskan perusahaan telah memangkas 97 rute pada 2022 — dari 237 menjadi hanya 140 rute aktif — untuk meminimalkan kerugian pada jalur yang tidak menguntungkan.
Di sisi lain, sinyal positif tetap muncul dari kinerja penumpang Garuda. Jumlah penumpang internasional yang dilayani Garuda melonjak signifikan: dari hanya 110.000 pada 2021 menjadi lebih dari 2,6 juta pada 2024. Rasio penumpang internasional terhadap domestik juga meningkat dari 0,17 di 2020 menjadi 0,30 di 2024. Tren ini menandakan permintaan pasar terhadap layanan internasional Garuda berangsur pulih. Namun, angka pemulihan penumpang saja tidak cukup menutup kesenjangan besar dalam daya saing struktural yang sudah mengakar.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah persepsi layanan. Garuda Indonesia tercatat sempat menjadi maskapai dengan performa ketepatan waktu (OTP) terbaik di dunia pada 2019. Tetapi tren penurunan reputasi di peringkat Skytrax membuktikan bahwa Garuda butuh transformasi yang lebih dari sekadar pembenahan finansial — perlu lompatan strategis yang menyasar peremajaan armada, perluasan rute internasional, hingga penguatan kemitraan global.
Kembali pada pertanyaan mendasar: apakah Garuda siap bersaing di kancah internasional, khususnya dengan maskapai utama ASEAN? Fakta menunjukkan Garuda masih harus bekerja ekstra keras untuk sekadar menyaingi Thai Airways, apalagi Singapore Airlines. Mulai dari jaringan internasional yang terbatas, jumlah armada yang kecil, hingga kemitraan global yang lemah, menjadi hambatan nyata.
Meski begitu, suntikan modal besar, restrukturisasi manajemen, dan tren pemulihan jumlah penumpang menjadi modal awal. Namun Garuda tak bisa berhenti di langkah-langkah itu saja. Ke depan, Garuda Indonesia harus berani mengambil langkah transformatif, tak hanya untuk pulih, tetapi juga kembali menegaskan posisi sebagai maskapai yang diperhitungkan di langit ASEAN.