JAKARTA - Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), yang baru saja diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 24 Februari 2025, tengah menjadi sorotan. Dengan tiga mandat strategisnya sebagai Sovereign Wealth Fund, pengembangan investasi, dan pengelolaan aset pemerintah, Danantara berupaya mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu sektor yang menjadi perhatian utama dalam strategi investasinya adalah industri kelapa sawit, yang dinilai memiliki potensi besar dalam mendukung ketahanan pangan dan pengembangan energi terbarukan.
Potensi Investasi dan Tantangan yang Dihadapi
Reputasi dan tingkat kepercayaan masyarakat serta investor menjadi faktor kunci dalam menarik modal untuk program strategis Danantara. Dengan target nilai aset sebesar USD 900 miliar, Danantara membutuhkan investasi yang mampu memberikan keuntungan jangka panjang. Industri kelapa sawit, sebagai sektor yang berkontribusi besar terhadap ekspor dan perekonomian Indonesia, menjadi pilihan strategis.
Namun, pengembangan sektor ini kerap menghadapi tantangan, terutama terkait dengan isu lingkungan dan deforestasi. Lahan yang dibutuhkan untuk ekspansi sering kali berbenturan dengan kebijakan lingkungan yang ketat. Kontroversi mengenai dampak ekologis dari industri kelapa sawit juga menjadi sorotan, terutama dari kelompok pemerhati lingkungan dan organisasi internasional.
Kepala Badan Pengelola Investasi Danantara, Rahmat Widjaya, menegaskan bahwa investasi dalam industri kelapa sawit tetap menjadi prioritas dengan pendekatan yang lebih berkelanjutan. “Kami memahami pentingnya aspek lingkungan dalam investasi di sektor ini. Oleh karena itu, kami berkomitmen untuk memastikan bahwa pengembangan kelapa sawit dilakukan secara berkelanjutan dan sesuai dengan regulasi yang berlaku,” ujarnya.
Peluang Besar di Tengah Regulasi Ketat
Indonesia memiliki luas wilayah sekitar 188 juta hektare, dengan 120,3 juta hektare (64%) ditetapkan sebagai kawasan hutan. Sisa 36% lainnya digunakan untuk kawasan pembangunan dan penggunaan lahan lainnya. Dengan ketersediaan lahan yang luas, pengembangan industri kelapa sawit dianggap masih memiliki ruang ekspansi yang cukup.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, hutan di Indonesia didefinisikan sebagai lahan dengan luas minimal 0,25 hektare yang memiliki tutupan tajuk minimal 30%. Namun, definisi ini sering kali bertentangan dengan standar internasional, seperti yang digunakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO), yang menetapkan batasan tutupan kanopi lebih dari 10% untuk dikategorikan sebagai hutan.
Polemik ini menjadi salah satu tantangan utama dalam investasi kelapa sawit, karena deforestasi sering kali dikaitkan dengan hilangnya tutupan hutan meskipun lahan tersebut sudah berstatus sebagai area konversi. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni sebelumnya menyebut bahwa terdapat sekitar 20 juta hektare lahan hutan yang dapat dialokasikan untuk kebutuhan pangan dan energi. Namun, pernyataan ini menuai kritik tajam dari berbagai organisasi lingkungan global.
Strategi Pemerintah dan Danantara dalam Menyikapi Kontroversi
Untuk mengatasi isu ini, terdapat beberapa pendekatan yang bisa diterapkan oleh pemerintah dan Danantara:
Redefinisi Kawasan Hutan Pemerintah perlu mendefinisikan ulang status hutan dengan mengacu pada aspek ekologis dan nilai konservasi. Kawasan yang memiliki Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dan Stok Karbon Tinggi (SKT) harus dipertahankan, sementara kawasan yang tidak memenuhi kriteria tersebut dapat dikonversi untuk kebutuhan industri dan pertanian.
Pembedaan antara Deforestasi dan Konversi Lahan Tidak semua perubahan tutupan hutan dapat dikategorikan sebagai deforestasi. Perubahan yang dilakukan pada kawasan produksi seharusnya dikategorikan sebagai konversi legal, bukan deforestasi. Definisi ini harus disosialisasikan agar tidak menimbulkan persepsi negatif di tingkat global.
Penerapan Prinsip Keberlanjutan Danantara berencana menerapkan standar keberlanjutan dalam investasi kelapa sawit, termasuk melalui skema sertifikasi berkelanjutan seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
Kolaborasi dengan Pihak Internasional Untuk mengurangi tekanan global, Indonesia perlu menjalin kerja sama dengan organisasi internasional dalam menyusun kebijakan yang seimbang antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Meskipun menghadapi tantangan dan kontroversi, investasi Danantara di sektor kelapa sawit tetap memiliki prospek yang menjanjikan. Dengan pendekatan yang berkelanjutan dan kebijakan yang lebih jelas terkait pengelolaan lahan, investasi ini dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi sekaligus mendukung ketahanan pangan dan pengembangan energi terbarukan.
“Penting bagi kita untuk melihat kelapa sawit tidak hanya sebagai komoditas ekspor, tetapi juga sebagai aset strategis dalam pembangunan nasional. Jika dikelola dengan baik, industri ini dapat menjadi solusi bagi kebutuhan energi terbarukan serta meningkatkan kesejahteraan petani,” tutup Rahmat Widjaya.