JAKARTA - Pertumbuhan industri pengolahan nikel di Indonesia kian menguat, memunculkan tantangan baru terkait ketersediaan bahan baku. Jika seluruh fasilitas pengolahan yang saat ini beroperasi maupun yang masih dalam tahap konstruksi berjalan penuh, kebutuhan bijih nikel diperkirakan bakal melesat hingga 800 juta ton setiap tahun. Proyeksi tersebut diungkapkan Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, dalam Forum Laporan ESG 2025 yang digelar di Jakarta.
Menurut Meidy, geliat hilirisasi nikel tidak lepas dari peran puluhan perusahaan yang telah beroperasi. Hingga kini, tercatat 49 perusahaan pyrometallurgy telah memproduksi secara aktif, dengan kebutuhan sekitar 240 juta ton bijih nikel per tahun. Sementara itu, 5 perusahaan yang memproduksi bahan baku baterai kendaraan listrik menggunakan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) memerlukan tambahan 60 juta ton bijih nikel.
“Untuk pyrometallurgy yang existing produksi sudah ada 49 perusahaan, dan membutuhkan 240 juta ton bijih nikel. Sedangkan untuk bahan baku baterai sudah ada 5 perusahaan, dengan data terbaru kebutuhan mencapai 60 juta ton lebih,” jelas Meidy.
Tidak hanya mengandalkan perusahaan yang sudah berjalan, industri ini juga diperkuat oleh proyek-proyek baru. Meidy memaparkan, saat ini ada 35 perusahaan pyrometallurgy dan 4 perusahaan hydrometallurgy dalam tahap konstruksi. Di sisi lain, masih terdapat 19 perusahaan yang tertahan di tahap perizinan akibat kendala teknis.
Jika seluruh fasilitas tersebut tuntas dibangun dan beroperasi, jumlah totalnya akan mencapai 147 fasilitas pengolahan nikel di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini menjadi pemicu lonjakan kebutuhan bijih nikel hingga mencapai 800 juta ton setiap tahun.
“Totalnya nanti akan ada 147 fasilitas pengolahan nikel. Bila seluruhnya beroperasi, kebutuhan bijih nikel kita akan melonjak hingga 800 juta ton per tahun. Pertanyaannya, apakah cadangan nikel kita cukup?” ungkap Meidy dalam acara yang diadakan oleh Kamar Dagang Tiongkok di Indonesia (CCCI).
Peta persebaran industri pengolahan nikel pun kian meluas. Saat ini, 18 kawasan industri di Tanah Air telah menjadi rumah bagi aktivitas pengolahan nikel, dengan dua kawasan baru yang dijadwalkan memulai produksi pada 2026. Salah satu kawasan tersebut dikembangkan melalui kerja sama dengan PT Vale Indonesia Tbk.
“Ke depan, ada dua kawasan industri yang akan mulai berproduksi, salah satunya Huayou yang bekerja sama dengan Vale. Ini akan mendorong pertumbuhan kawasan industri lainnya,” tambah Meidy.
Meski prospek pertumbuhan industri nikel terlihat menjanjikan, Meidy menegaskan ada tiga tantangan besar yang perlu segera dijawab. Pertama adalah memastikan ketersediaan cadangan nikel dalam jangka panjang. Kedua, memperkuat transfer teknologi dari mitra asing agar kapasitas nasional semakin kompetitif. Ketiga, menjaga keberpihakan terhadap tenaga kerja lokal di tengah derasnya investasi baru.
“Pertumbuhan ini harus dijawab dengan tiga pertanyaan besar: Apakah kita cukup secara cadangan? Bagaimana transfer teknologi ke dalam negeri? Dan bagaimana penyelamatan tenaga kerja di Indonesia?” tegasnya.
Hilirisasi industri nikel telah menjadi salah satu strategi utama pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah komoditas tambang. Kebijakan ini memungkinkan Indonesia tidak hanya mengekspor bahan mentah, tetapi juga mengolahnya menjadi produk bernilai tinggi, termasuk bahan baku baterai untuk kendaraan listrik yang tengah naik daun di pasar global.
Namun, di balik peluang tersebut, terdapat pekerjaan rumah besar. Ketergantungan pada cadangan nikel yang terbatas menuntut perencanaan eksplorasi dan konservasi yang lebih serius. Di sisi lain, proses transfer teknologi perlu dipercepat agar Indonesia tidak hanya menjadi lokasi produksi, tetapi juga pusat inovasi teknologi pengolahan nikel.
Tantangan terakhir yang disoroti APNI adalah soal tenaga kerja. Kehadiran investasi asing di sektor ini harus diimbangi dengan perlindungan dan pemberdayaan tenaga kerja nasional, baik melalui pelatihan, peningkatan keterampilan, maupun penyerapan tenaga kerja lokal pada setiap proyek.
Penguatan sektor nikel dinilai strategis karena mendukung rantai pasok industri kendaraan listrik global, yang semakin mengarah pada tren energi bersih. Dengan lonjakan kebutuhan bijih yang begitu besar, koordinasi antara pemerintah, pelaku industri, dan investor menjadi kunci agar pertumbuhan industri ini tidak hanya cepat, tetapi juga berkelanjutan.
Jika seluruh potensi ini dikelola dengan tepat, Indonesia bukan hanya menjadi pemain penting di pasar nikel dunia, tetapi juga mampu memanfaatkan sumber daya alamnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan menguasai teknologi masa depan.