JAKARTA - Untuk mengakselerasi penyaluran kredit ke sektor riil, Bank Indonesia (BI) mengambil langkah pelonggaran likuiditas dengan mengurangi outstanding Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Langkah ini dipilih untuk mendorong dana perbankan kembali mengalir ke sektor produktif, alih-alih tertahan dalam instrumen moneter jangka menengah.
Tren perlambatan kredit yang terus berlanjut sejak awal 2025 menjadi perhatian serius otoritas moneter. Data menunjukkan, kredit perbankan yang sempat tumbuh 9,6% secara tahunan (year on year/yoy) pada Januari 2025, mengalami perlambatan menjadi hanya 7,6% yoy per Juni 2025. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun masih tumbuh, laju ekspansi kredit mulai tertahan.
Salah satu penyebab utama perlambatan kredit tersebut adalah meningkatnya penempatan dana perbankan dalam SRBI, instrumen moneter jangka menengah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Karena dana perbankan lebih banyak ‘diparkir’ di SRBI, ruang untuk ekspansi kredit menjadi terbatas.
Menanggapi hal ini, BI sejak awal tahun secara bertahap mulai menurunkan outstanding SRBI. Kebijakan ini ditujukan untuk menambah ruang likuiditas di sektor perbankan, sehingga dana yang sebelumnya mengendap dalam SRBI bisa diarahkan ke sektor riil yang lebih produktif.
Penurunan Outstanding SRBI Jadi Indikator Kebijakan Akomodatif
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, menjelaskan bahwa penurunan outstanding SRBI merupakan bagian dari sinyal kebijakan moneter yang kini mulai bergerak ke arah ekspansif.
"Kalau SRBI turun, berarti duitnya keluar (kepemilikan perbankan di SRBI berkurang). Duitnya keluar kan berarti longgar (likuiditas perbankan bertambah), nanti itu menambah bagaimana amunisi bank untuk melakukan kegiatan penyaluran kredit," kata Erwin dalam Taklimat Media Bank Indonesia.
Per akhir 2024, outstanding SRBI tercatat sebesar Rp923,53 triliun. Namun hingga pertengahan 2025, angka ini telah menyusut menjadi sekitar Rp770 triliun. Artinya, dalam enam bulan pertama tahun ini, terjadi pengurangan sekitar Rp153 triliun, dana yang potensial dialirkan kembali ke ekonomi produktif melalui pembiayaan.
Pengalihan ke Tenor Pendek untuk Percepat Perputaran Dana
Selain menurunkan volume SRBI, BI juga aktif mendorong perbankan agar memilih tenor pendek dalam kepemilikan SRBI. Tujuannya agar dana tidak terlalu lama terkunci dalam jangka waktu panjang, sehingga bisa lebih cepat berputar dan disalurkan ke sektor ekonomi yang membutuhkan.
"Kami akan terus mengupayakan langkah-langkah agar likuiditas (likuiditas bank di SRBI) yang terkunci di tenor 6, 9, 12 itu kita kurangi, dan kita dorong ke tenor yang lebih pendek. Begitu ada permintaan kredit yang layak, bank memiliki ruang likuiditas yang cukup untuk menyalurkan kreditnya," tambah Erwin.
Kebijakan ini juga menjadi respons terhadap kebutuhan fleksibilitas bank dalam menyesuaikan komposisi aset dan liabilitasnya. Dengan pilihan tenor pendek, bank memiliki kelonggaran waktu untuk cepat mencairkan dan mengalokasikan dana sesuai kebutuhan pembiayaan yang dinamis.
Konsistensi dengan Sikap Moneter yang Lebih Akomodatif
Secara umum, langkah BI ini mencerminkan konsistensi dalam memperkuat arah kebijakan moneter yang lebih akomodatif. Apalagi, tren penurunan suku bunga global dan domestik membuka ruang untuk pelonggaran yang lebih besar, termasuk dalam kebijakan operasi moneter.
Erwin menekankan bahwa seluruh kebijakan yang ditempuh akan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, dengan mempertimbangkan kondisi pasar serta dampaknya terhadap nilai tukar rupiah.
"Pastinya kami akan terus melakukan pemantauan terkait dengan bagaimana dari respon pasar di pasar uang dan juga impact ke nilai tukar terkait dengan penyesuaian yang akan kita lakukan," ujarnya.
Dalam praktiknya, BI tetap akan memperhatikan keseimbangan antara menjaga stabilitas makroekonomi dan mendukung pemulihan ekonomi nasional. Pengurangan SRBI bukan berarti mengabaikan peran instrumen tersebut, tetapi mengaturnya agar selaras dengan kebutuhan pasar dan arah kebijakan nasional.
Dana Perbankan Kembali Bergeser ke Surat Utang Negara
Efek dari pelonggaran SRBI ini mulai terlihat. Seiring dengan penurunan kepemilikan bank di SRBI, beberapa lembaga perbankan mulai mengalihkan dananya ke instrumen lain seperti Surat Utang Negara (SUN). Ini menandakan bahwa strategi likuiditas perbankan mulai bergeser ke aset yang lebih likuid dan berorientasi pasar.
Dengan ketersediaan likuiditas yang lebih besar, diharapkan perbankan lebih aktif menyalurkan kredit ke sektor-sektor produktif seperti UMKM, infrastruktur, manufaktur, hingga sektor pertanian dan energi yang menopang pemulihan ekonomi.
Kesimpulan: Strategi Likuiditas BI Dorong Kredit Produktif
Langkah Bank Indonesia dalam mengurangi outstanding SRBI menjadi strategi penting dalam memperbaiki transmisi kebijakan moneter ke sektor riil. Dengan melonggarkan likuiditas, bank memiliki kapasitas lebih besar untuk menyalurkan kredit, yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh.
Kebijakan ini mencerminkan sinergi antara stabilitas moneter dan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketika kredit kembali tumbuh sehat, sektor riil akan lebih bergairah, lapangan kerja meningkat, dan daya beli masyarakat terjaga.