JAKARTA - Di tengah dinamika ekonomi yang terus berkembang, Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa kondisi likuiditas perbankan di pasar keuangan domestik tetap aman dan mencukupi. Kepastian ini disampaikan langsung oleh Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, yang menyoroti indikator pasar uang sebagai tolok ukur stabilitas likuiditas.
Penurunan tingkat suku bunga Indonesia Overnight Index Average (IndONIA) menjadi salah satu sinyal utama yang digunakan BI untuk membaca arah kondisi pasar. Saat ini, suku bunga acuan pasar uang antarbank tenor satu hari tersebut berada di level 4,83 persen, menunjukkan adanya kelonggaran likuiditas yang cukup besar di pasar.
“Ini menunjukkan bahwa liquidity yang ada di pasar itu berada pada jumlah yang sangat mencukupi,” ujar Erwin.
IndONIA sendiri bekerja dengan prinsip dasar penawaran dan permintaan. Ketika banyak bank memiliki dana berlebih, maka suku bunga overnight turun karena tidak ada tekanan tinggi untuk menarik dana antarbank. Dengan suku bunga yang cenderung rendah, ini mencerminkan bahwa bank-bank saat ini tidak kesulitan mendapatkan likuiditas dalam jangka sangat pendek.
Lebih lanjut, Erwin menyebutkan bahwa rata-rata dana yang tersedia di pasar keuangan pada pagi hari tercatat lebih dari Rp90 triliun. Fakta ini semakin memperkuat bahwa kecukupan dana antarbank berada pada tingkat yang sangat stabil dan dapat diandalkan.
“Sehingga kalau ada pandangan yang mengatakan liquidity berada dalam kondisi ketat, di pasar (uang) setidaknya kami bisa katakan liquidity itu berada pada jumlah yang sangat memadai,” jelasnya.
Rasio Likuiditas Tetap Tinggi
Dukungan terhadap pernyataan tersebut juga datang dari Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Dalam keterangannya sebelumnya, Perry menyatakan bahwa tidak ada tanda-tanda permasalahan likuiditas di sektor perbankan nasional. Hal ini salah satunya tercermin dari tingginya rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK), yang per Juni 2025 tercatat sebesar 27,05 persen.
Angka tersebut dinilai lebih dari cukup untuk mengatasi kebutuhan jangka pendek perbankan, sekaligus memberikan ruang untuk kestabilan operasional bank dalam menghadapi ketidakpastian eksternal.
Namun, Perry juga menggarisbawahi bahwa bank-bank saat ini lebih memilih untuk menempatkan likuiditas mereka pada instrumen surat-surat berharga daripada menyalurkannya dalam bentuk kredit kepada masyarakat atau pelaku usaha. Hal ini dipengaruhi oleh strategi manajemen risiko dan preferensi investasi yang berhati-hati.
“Jadi dari sisi preferensi, bank menaruh alat likuidnya pada surat-surat berharga dibandingkan mendorong kredit. Dan juga kelihatan lending standard yang meningkat,” katanya.
Dampak terhadap Pertumbuhan Kredit
Konsekuensi dari peningkatan standar penyaluran kredit dan perubahan preferensi alokasi dana tersebut adalah perlambatan pertumbuhan kredit. BI mencatat bahwa pada Juni 2025, pertumbuhan kredit perbankan hanya mencapai 7,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 8,43 persen (yoy).
Fenomena ini menandakan bahwa meskipun perbankan memiliki cadangan dana yang cukup besar, terdapat kehati-hatian dalam mendistribusikannya kepada sektor riil. Hal ini bisa dipahami sebagai bagian dari sikap waspada terhadap risiko kredit bermasalah, apalagi di tengah fluktuasi ekonomi global yang masih berlanjut.
Meski demikian, BI menilai perlambatan kredit masih berada dalam batas yang wajar. Apalagi likuiditas tetap longgar dan sistem keuangan domestik masih stabil. Strategi penyesuaian ini dianggap penting untuk menjaga kualitas aset perbankan dalam jangka menengah dan panjang.
Likuiditas Memadai, Stimulus Moneter Masih Terbuka
Dengan likuiditas yang tetap terjaga, Bank Indonesia memiliki fleksibilitas untuk tetap menjalankan kebijakan moneter yang akomodatif. Penurunan tren IndONIA memberi ruang bagi BI untuk tetap menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi tanpa perlu melakukan pengetatan yang berlebihan.
Indikator lain seperti nilai tukar rupiah yang stabil dan inflasi yang masih dalam target sasaran menjadi faktor pendukung bahwa kebijakan moneter BI berada dalam jalur yang sesuai. Dengan cadangan devisa yang solid dan koordinasi kuat bersama otoritas fiskal, BI tetap memiliki ruang untuk mendukung pemulihan ekonomi, baik melalui kebijakan suku bunga maupun penguatan instrumen makroprudensial.
Kepercayaan Tetap Terjaga
Pernyataan BI mengenai kecukupan likuiditas memberi sinyal positif kepada pasar, pelaku usaha, dan masyarakat. Dalam kondisi ekonomi yang masih menyesuaikan pascapandemi dan tekanan eksternal dari pasar global, keyakinan terhadap stabilitas sistem keuangan nasional menjadi modal penting untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Dengan dana lebih dari Rp90 triliun beredar di pasar uang setiap pagi, dan rasio likuiditas perbankan yang tetap tinggi, BI ingin memastikan bahwa sistem keuangan tetap mampu mendukung kebutuhan pembiayaan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Keseimbangan antara kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit dan kecukupan dana yang tersedia menjadi tantangan tersendiri. Namun, BI optimistis bahwa koordinasi yang erat dengan sektor keuangan dan perbankan akan mampu menciptakan sinergi positif bagi keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional.