JAKARTA - Upaya mempercepat transisi energi bersih di Tanah Air semakin terlihat nyata, salah satunya melalui pemanfaatan potensi panas bumi di kawasan timur Indonesia. Nusa Tenggara Timur (NTT) kini menjadi salah satu provinsi yang secara serius mendorong pemanfaatan energi terbarukan, khususnya dari sektor panas bumi, sebagai bagian dari visi jangka panjang menuju kemandirian energi daerah.
Di bawah kepemimpinan Gubernur Melki Laka Lena, NTT terus berbenah dan membuka diri terhadap berbagai bentuk pengembangan energi ramah lingkungan. Salah satu proyek strategis yang kini menjadi perhatian adalah pengembangan panas bumi di Poco Leok, Kabupaten Manggarai.
"NTT sudah diputuskan sebagai provinsi renewable energy. Maka seluruh potensi energi terbarukan termasuk panas bumi harus kita dorong dan kembangkan," tegas Gubernur Melki dalam pernyataannya.
Panas Bumi Poco Leok: Bagian dari Rencana Besar
Melki menyebutkan bahwa potensi panas bumi yang dimiliki Poco Leok merupakan bagian penting dari keseluruhan skema transformasi energi di NTT. Menurutnya, langkah ini tidak hanya bertujuan memenuhi kebutuhan energi masa kini, tetapi juga sebagai investasi jangka panjang bagi generasi mendatang.
Ia meyakini bahwa pengembangan energi bersih, seperti panas bumi, akan membawa dampak positif terhadap ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja, serta mendukung agenda nasional dalam mengurangi emisi karbon.
Namun, seiring dengan pengembangan proyek tersebut, berbagai tantangan sosial dan isu publik turut muncul. Tidak sedikit narasi negatif yang beredar di masyarakat, bahkan berkembang menjadi tudingan kepada pejabat daerah yang dianggap bermain dalam proyek panas bumi.
Menanggapi hal tersebut, Melki menekankan pentingnya penyampaian informasi yang benar dan berbasis fakta. “Saya dibilang terima uang dari pengembang panas bumi, paling gampang dicek sajalah. Jangan main fitnah. Ini soal kepentingan masa depan energi dan pembangunan di NTT,” ungkapnya dengan nada tegas.
Mengutamakan Dialog dalam Menjawab Kekhawatiran Warga
Bagi Gubernur Melki, kritik terhadap proyek pembangunan adalah hal wajar, asalkan disampaikan dengan cara-cara yang sehat dan konstruktif. Ia menekankan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap kekhawatiran warga, namun respons terhadap hal tersebut harus dibangun lewat komunikasi terbuka.
Melki mengisahkan bahwa dirinya secara langsung turun ke wilayah Poco Leok untuk berdialog dengan masyarakat. Upaya ini menurutnya menunjukkan bahwa pemerintah membuka ruang diskusi dan tidak memaksakan agenda pembangunan tanpa melibatkan warga.
“Saya masuk langsung ke Poco Leok pertama kali, bertemu warga (untuk) berdialog. Bahkan kelompok yang selama ini kontra mau menerima kehadiran pemerintah. Artinya, ruang dialog itu masih terbuka,” jelasnya.
Pembangunan Energi untuk Keadilan Wilayah
Pengembangan energi di NTT tidak semata-mata diarahkan pada aspek pertumbuhan ekonomi. Lebih dari itu, pembangunan ini dikaitkan dengan misi keadilan energi. Artinya, seluruh masyarakat, termasuk di wilayah terpencil, diharapkan bisa mengakses energi secara adil dan merata.
Sebagai pembanding, Melki menyinggung keberhasilan pengelolaan panas bumi di Ulumbu yang sudah berlangsung selama lebih dari satu dekade. Di lokasi tersebut, menurutnya, proyek panas bumi mampu berjalan dengan baik, tanpa memunculkan konflik maupun gangguan lingkungan.
“Di Ulumbu itu sudah berjalan 13 tahun. Tidak ada isu lingkungan, bagi hasilnya baik, keamanan dan CSR-nya juga jalan. Hal itu bisa jadi rujukan bahwa panas bumi bisa diterima jika dikelola dengan baik,” ungkapnya.
Dengan referensi Ulumbu tersebut, pemerintah daerah berharap proyek di Poco Leok pun dapat mengikuti jejak yang sama, yakni pembangunan yang kolaboratif, berkelanjutan, dan menyejahterakan masyarakat sekitar.
Proyek Harus Transparan dan Adil
Kendati optimistis, Gubernur Melki menegaskan bahwa pengembangan proyek panas bumi harus tetap mengacu pada prinsip-prinsip transparansi dan keadilan. Menurutnya, tidak ada pembangunan yang bisa sukses tanpa keterbukaan dan partisipasi masyarakat.
Ia juga menegaskan bahwa apabila proyek terbukti merugikan masyarakat atau mengganggu lingkungan, maka pemerintah siap melakukan evaluasi bahkan penghentian. Namun, semua itu harus berdasarkan data dan proses dialog, bukan tekanan berbasis isu atau provokasi.
“Kalau masyarakat setuju, proyek bisa jalan. Kalau tidak, ya kita evaluasi. Tapi jangan rusak harmoni sosial dengan cara-cara yang tidak jujur. Yang utama itu dialog,” tegasnya kembali.
Jalan Panjang Menuju Provinsi Energi Terbarukan
Dengan visi besar menjadikan NTT sebagai provinsi energi terbarukan, pemerintah daerah tampak konsisten dalam menyusun langkah-langkah strategis. Pemanfaatan sumber daya alam lokal seperti panas bumi dianggap sebagai kunci dalam membangun sistem energi yang berkelanjutan.
Ke depan, pengembangan energi bersih di NTT diharapkan dapat menjadi model bagi provinsi lain dalam menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan, pelestarian lingkungan, dan partisipasi masyarakat. Selama komunikasi tetap dijaga, proyek seperti panas bumi di Poco Leok berpotensi menjadi simbol keberhasilan transformasi energi daerah.
Langkah ini tentu bukan tanpa tantangan, namun pendekatan kolaboratif dan terbuka yang diambil pemerintah daerah menjadi modal penting dalam mencapai cita-cita besar tersebut. Jika berjalan sesuai harapan, NTT bukan hanya menjadi provinsi mandiri energi, tapi juga pionir dalam transisi energi bersih Indonesia Timur.