JAKARTA - Wacana penerapan pajak karbon di Indonesia kembali mencuat, namun belum akan diwujudkan dalam waktu dekat. Pemerintah memilih untuk mengedepankan pembangunan ekosistem pendukung terlebih dahulu sebelum mengenakan pungutan karbon terhadap pelaku industri. Langkah ini diambil sebagai bentuk kehati-hatian dalam menyelaraskan kebijakan fiskal dengan kondisi ekonomi nasional.
Pendekatan yang ditempuh tidak semata mempertimbangkan aspek penerimaan negara, melainkan juga kesiapan infrastruktur dan mekanisme pasar karbon yang saat ini masih dalam tahap pengembangan. Keputusan ini memperlihatkan bahwa pemerintah ingin memastikan keberhasilan implementasi pajak karbon tidak mengganggu stabilitas ekonomi dan dapat berjalan beriringan dengan pembangunan berkelanjutan.
Menurut pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan, saat ini belum ada keputusan final terkait waktu pelaksanaan pajak karbon. Penentuan waktunya sangat bergantung pada perkembangan kesiapan sistem pendukung dan kondisi makroekonomi secara umum.
“Ya masih kita memperhatikan ekosistem yang karbon pricing-nya, kemudian juga pasar karbonnya. Kan itu masih dalam upaya untuk pengembangan, sehingga juga kita memperhatikan bagaimana kondisi perekonomian kita ke depannya,” ungkap pejabat tersebut kepada media di Jakarta.
Langkah menunda penerapan bukan berarti kebijakan ini ditinggalkan. Sebaliknya, berbagai elemen pendukung seperti regulasi, sistem pengawasan, dan perangkat pasar karbon sedang dikerjakan secara simultan. Pemerintah menilai bahwa pajak karbon harus hadir dalam lingkungan yang siap, agar tujuan utamanya dalam mendukung transisi energi hijau dan mengurangi emisi karbon dapat tercapai secara optimal.
Kebijakan ini juga akan menyesuaikan dengan rencana besar pembangunan rendah karbon dan transisi energi. Oleh sebab itu, pemerintah terus menyusun dan menyempurnakan roadmap yang dapat mengakomodasi perubahan kebijakan fiskal, dinamika industri, dan kesiapan teknis.
“Progresnya semua itu memang sudah paralel kita jalankan. Progres untuk penyusunan yang regulasi-regulasi terkaitnya, untuk penyusunan infrastrukturnya. Tapi penerapannya tentu nanti memperhatikan yang perkembangan, ekosistem yang dibutuhkan tadi yang harus diperhatikan,” jelas pejabat tersebut.
Pembangunan ekosistem untuk mendukung transisi menuju ekonomi hijau mencakup banyak aspek, termasuk edukasi pelaku usaha, penguatan kerangka regulasi, pengembangan instrumen pasar karbon, dan koordinasi lintas sektor. Pemerintah ingin memastikan bahwa semua pihak yang terdampak kebijakan ini benar-benar memahami dan siap menjalankan kewajiban barunya.
Meskipun implementasinya belum ditetapkan, dasar hukum penerapan pajak karbon sebenarnya sudah tersedia. Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada tahun 2021, ketentuan mengenai pajak karbon telah diatur secara resmi. Namun hingga kini, target awal pelaksanaannya yang direncanakan berlaku pada 1 April 2022 masih belum terealisasi.
Merujuk pada regulasi tersebut, tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Mekanisme pemungutannya dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu melalui penetapan batas emisi yang diperbolehkan bagi setiap industri dan tarif pajak yang harus dibayarkan apabila terjadi kelebihan emisi.
Terkait penundaan ini, pemerintah juga disebut ingin menyeimbangkan antara efektivitas fiskal dan keberlangsungan industri dalam negeri. Sektor industri yang menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar masih memerlukan waktu untuk melakukan penyesuaian terhadap standar lingkungan yang baru. Di sisi lain, Indonesia juga ingin tetap kompetitif di tengah dinamika ekonomi global.
Di tengah berbagai tantangan tersebut, inisiatif pemerintah untuk memperkuat aspek kelembagaan dan tata kelola pasar karbon dinilai sebagai langkah yang positif. Hal ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, meningkatkan kepercayaan investor, dan mendorong partisipasi aktif sektor swasta dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
Dalam skema besar pembangunan berkelanjutan, pajak karbon akan menjadi salah satu instrumen penting untuk mendorong perubahan perilaku industri. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong efisiensi energi, adopsi teknologi rendah emisi, serta mempercepat transisi ke sumber energi terbarukan.
Sampai saat ini, pemerintah terus memonitor perkembangan kebijakan serupa di negara lain sebagai bahan pembelajaran. Banyak negara telah lebih dahulu menerapkan sistem pajak karbon atau skema perdagangan karbon, dan Indonesia ingin merancang sistem yang sesuai dengan karakteristik perekonomiannya sendiri.
Ke depan, arah kebijakan ini akan sangat tergantung pada bagaimana kesiapan sektor industri nasional dalam menyerap perubahan tersebut. Pemerintah berkomitmen untuk tetap membuka ruang dialog dengan para pemangku kepentingan, sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat lebih adaptif dan berkeadilan.
Dengan demikian, walaupun belum akan diterapkan dalam waktu dekat, pijakan menuju pajak karbon terus dibangun secara bertahap. Ini menandai keseriusan pemerintah dalam mengelola isu perubahan iklim melalui pendekatan fiskal yang terukur dan bertanggung jawab.