JAKARTA - Pemerintah resmi mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) untuk periode 2025–2034. Dokumen strategis ini menjadi cetak biru pengembangan sektor ketenagalistrikan nasional selama sepuluh tahun ke depan, dengan target penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 gigawatt (GW). Dari total kapasitas tersebut, sebesar 61 persen berasal dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT), mencerminkan komitmen kuat pemerintah dalam mempercepat transisi energi bersih.
Porsi EBT yang sangat dominan dalam RUPTL ini menandai perubahan besar arah kebijakan energi nasional, sejalan dengan target net zero emission (NZE) pada 2060. Pemerintah menyusun rencana ini dengan prinsip berkeadilan, memastikan setiap wilayah mendapatkan akses energi bersih, berkelanjutan, dan merata.
Target Penambahan Kapasitas Pembangkit
Total kapasitas pembangkit yang direncanakan dalam RUPTL 2025–2034 terdiri atas:
42,6 GW dari pembangkit EBT (61%)
10,3 GW dari sistem penyimpanan energi (15%)
16,6 GW dari pembangkit fosil (24%)
Khusus untuk EBT, rincian kapasitas pembangkit mencakup tenaga surya sebesar 17,1 GW, tenaga air 11,7 GW, tenaga angin 7,2 GW, panas bumi 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, serta nuklir sebesar 0,5 GW. Adapun penyimpanan energi terdiri dari pumped storage sebesar 4,3 GW dan baterai sebesar 6,0 GW.
Sementara itu, untuk pembangkit berbasis fosil, 10,3 GW berasal dari gas dan 6,3 GW dari batu bara. Pemerintah menyatakan pembangunan pembangkit fosil tetap diperlukan untuk menjaga keandalan sistem kelistrikan dan mendukung bauran energi yang seimbang selama masa transisi.
Tahapan Implementasi
Pemerintah membagi tahapan pengembangan kapasitas pembangkit menjadi dua fase selama 10 tahun:
Fase pertama (2025–2029): 27,9 GW
Fase kedua (2030–2034): 41,6 GW
Pada fase awal, pengembangan masih didominasi oleh pembangkit fosil yang porsinya mencapai 45 persen. Namun, pada fase kedua, dominasi beralih kepada EBT yang porsinya meningkat signifikan menjadi 73 persen dari total kapasitas yang dibangun. Strategi ini disusun dengan mempertimbangkan kesiapan teknologi, infrastruktur jaringan, dan kebutuhan pasokan listrik nasional yang terus tumbuh.
Pandangan APLSI: Ambisius tapi Realistis
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang, menilai RUPTL 2025–2034 sebagai dokumen yang ambisius namun tetap realistis. Menurutnya, besarnya porsi EBT dalam rencana ini merupakan langkah strategis yang perlu didukung semua pihak, termasuk dari kalangan swasta.
“Ini merupakan revisi dari Green RUPTL sebelumnya, yang sekarang sudah lebih komprehensif. RUPTL ini bagus, tapi implementasinya harus dijaga agar benar-benar bisa berjalan lancar,” ujarnya.
Arthur juga menegaskan pentingnya dukungan regulasi yang lengkap dan konsisten agar proyek-proyek kelistrikan yang tercantum dalam RUPTL dapat direalisasikan tepat waktu. Ia mengingatkan bahwa investor memerlukan kepastian hukum dan kemudahan perizinan agar mampu berperan maksimal dalam mendukung target energi bersih nasional.
“Penting sekali ada simplifikasi proses, penyederhanaan perizinan, serta kepastian investasi. Kalau tidak, realisasi RUPTL bisa tersendat,” tambahnya.
Komitmen Pemerintah
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa RUPTL terbaru telah dirancang dengan mempertimbangkan berbagai aspek penting, seperti pertumbuhan permintaan energi, keterjangkauan, keamanan pasokan, dan keberlanjutan lingkungan.
“RUPTL ini sudah disusun dengan prinsip akurat dan adil, melihat kebutuhan saat ini dan proyeksi ke depan. Kami tidak hanya melihat dari sisi suplai, tetapi juga sisi demand,” ujarnya dalam konferensi pers pengesahan RUPTL.
Ia juga menyebut bahwa pemerintah ingin mengurangi ketergantungan pada energi fosil, khususnya batu bara dan solar. Oleh karena itu, proyek-proyek pembangkit EBT seperti panas bumi akan lebih didorong, terutama di daerah-daerah yang belum terjangkau pasokan listrik stabil.
Salah satu contoh nyata adalah rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sebesar 40 MW di wilayah Indonesia timur, yang ditargetkan dapat menggantikan ketergantungan pada pembangkit diesel berbasis solar.
Peran Swasta dan Kemitraan Strategis
APLSI menyatakan siap bermitra dengan pemerintah dan PLN dalam menyukseskan RUPTL ini. Arthur Simatupang menyampaikan bahwa pihaknya berkomitmen melakukan transformasi menuju penyediaan listrik yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Kami akan terus berkontribusi dalam kelistrikan nasional dengan prinsip kemandirian dan efisiensi. Kami juga siap memperluas portofolio investasi ke sektor EBT,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan listrik swasta memiliki peran penting dalam mendorong inovasi dan efisiensi proyek-proyek pembangkit, termasuk pembangkit modular, off-grid system, serta teknologi penyimpanan energi.
Strategi Transisi Energi
RUPTL terbaru ini menjadi pilar utama dalam strategi nasional transisi energi. Selain meningkatkan kontribusi EBT, pemerintah juga akan memperkuat sistem transmisi dan distribusi, memperluas interkoneksi antarwilayah, serta mendorong digitalisasi sektor kelistrikan.
Untuk mendukung target RUPTL, akan dilakukan modernisasi jaringan listrik (smart grid), pembangunan transmisi EBT ke daerah permintaan tinggi, serta insentif bagi investasi pembangkit ramah lingkungan. Pemerintah juga sedang menyiapkan skema pembiayaan hijau dan fasilitas fiskal untuk menarik minat investor swasta.
RUPTL 2025–2034 merupakan tonggak penting dalam perjalanan Indonesia menuju sistem energi nasional yang lebih bersih, mandiri, dan berkelanjutan. Dengan porsi EBT yang dominan, dokumen ini tidak hanya menjawab tantangan perubahan iklim, tetapi juga membuka peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi hijau.
Kolaborasi antara pemerintah, PLN, swasta, dan masyarakat luas akan menjadi kunci sukses implementasi RUPTL. Jika dijalankan dengan konsisten, strategi besar ini akan membawa Indonesia lebih dekat pada target netral karbon dan kemandirian energi dalam dekade mendatang.