Energi

Kelas Menengah Jadi Katalis Transisi Energi Bersih, Pemerintah Diminta Hadirkan Kebijakan Inklusif

Kelas Menengah Jadi Katalis Transisi Energi Bersih, Pemerintah Diminta Hadirkan Kebijakan Inklusif
Kelas Menengah Jadi Katalis Transisi Energi Bersih, Pemerintah Diminta Hadirkan Kebijakan Inklusif

JAKARTA  – Pemerintah Indonesia terus mendorong percepatan transisi energi dari dominasi bahan bakar fosil menuju energi baru dan terbarukan (EBT). Di tengah tantangan perubahan iklim dan terbatasnya cadangan energi fosil, peran kelas menengah dinilai sangat strategis dalam menyukseskan peralihan menuju energi bersih. Namun, tanpa kebijakan yang inklusif dan insentif yang tepat sasaran, potensi besar dari kelas menengah dikhawatirkan tak akan tergarap optimal.

Transisi energi yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi serta diperkuat dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022, menekankan pentingnya pergeseran bertahap dari penggunaan energi fosil menuju energi bersih. Upaya ini sejalan dengan komitmen global Indonesia dalam mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, sebagaimana tertuang dalam ratifikasi Perjanjian Paris melalui UU Nomor 16 Tahun 2016.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kebutuhan energi nasional terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan industrialisasi. Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 23% pada 2025. Namun, upaya tersebut tidak dapat dilakukan pemerintah sendiri. Keterlibatan semua pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta, masyarakat sipil, dan khususnya kelompok kelas menengah, sangat dibutuhkan.

"Kelas menengah memiliki peran strategis dalam menentukan arah konsumsi energi nasional. Mereka bukan sekadar pengguna, tetapi juga dapat menjadi agen perubahan dalam adopsi energi bersih," ujar Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, dalam pernyataan tertulisnya.

Kelas Menengah: Motor Sosial dan Ekonomi

Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2022 mencatat jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai sekitar 52 juta orang atau 20% dari total populasi. Mereka umumnya tinggal di wilayah urban dan memiliki mobilitas tinggi serta ketergantungan besar pada energi, baik untuk transportasi, peralatan rumah tangga, hingga aktivitas digital sehari-hari.

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bahkan memproyeksikan bahwa pada tahun 2030, lebih dari 65% populasi Asia Tenggara akan berasal dari kelas menengah. Ini menunjukkan bahwa kelompok ini akan menjadi konsumen utama energi, sehingga kebijakan energi bersih harus mulai menyasar mereka secara lebih spesifik.

Namun, rendahnya literasi energi bersih menjadi tantangan. Studi International Renewable Energy Agency (IRENA) pada 2022 mengungkapkan bahwa pemahaman kelas menengah Indonesia terhadap manfaat energi terbarukan masih rendah. Transisi energi sering dipandang sebagai tanggung jawab negara atau industri besar saja.

Survei Katadata Insight Center tahun 2021 menunjukkan bahwa hanya 35% responden kelas menengah memahami manfaat langsung dari energi bersih, seperti penggunaan PLTS atap, kendaraan listrik, atau alat elektronik hemat energi. Padahal, adopsi teknologi ini dapat mengurangi pengeluaran rumah tangga sekaligus mendukung kelestarian lingkungan.

“Kita melihat ada miskonsepsi di masyarakat, terutama kelas menengah, yang menganggap energi bersih itu mahal dan tidak terjangkau. Padahal, dalam jangka panjang, efisiensi yang dihasilkan justru menguntungkan secara ekonomi,” jelas Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa.

Energi Bersih: Mahal atau Investasi Jangka Panjang?

Stigma energi bersih sebagai barang mahal menjadi penghalang utama. IESR mencatat adanya ketimpangan adopsi antara kelas menengah dan kelas atas, di mana kelompok dengan daya beli lebih tinggi sudah lebih dahulu mengakses teknologi energi rendah emisi karena insentif fiskal yang tersedia.

Padahal, menurut Bank Dunia (2022), rumah tangga kelas menengah di Indonesia mengalokasikan lebih dari 40% pengeluarannya untuk konsumsi non-esensial seperti gadget dan kendaraan. Jika anggaran ini dialihkan sebagian untuk pembelian perangkat energi bersih, seperti PLTS atap atau kendaraan listrik, maka dampaknya terhadap keberlanjutan akan sangat besar.

Namun, keterbatasan insentif langsung, belum meratanya distribusi infrastruktur energi terbarukan, dan rendahnya literasi keuangan energi membuat potensi tersebut belum tergarap maksimal. Salah satu solusi yang didorong adalah pengembangan skema pembiayaan hijau, termasuk kredit ringan dan potongan pajak untuk pembelian perangkat energi hemat.

Program Pemerintah Masih Belum Tepat Sasaran

Sejumlah program pemerintah telah diluncurkan untuk mendorong penggunaan energi bersih di sektor rumah tangga. Salah satunya adalah Program Alat Memasak Listrik (AML) dari Kementerian ESDM yang menargetkan distribusi 500.000 unit rice cooker listrik guna mengurangi ketergantungan pada LPG. Selain itu, insentif PLTS atap juga ditawarkan melalui program Surya Nusantara dan skema hibah dari Sustainable Energy Fund.

Di sektor transportasi, pemerintah memberikan insentif fiskal berupa pembebasan bea masuk kendaraan listrik dan potongan pajak pertambahan nilai (PPN). Namun, evaluasi menunjukkan bahwa program-program ini belum sepenuhnya menjangkau kelas menengah secara spesifik.

“Insentif yang ada saat ini banyak menyasar kelompok miskin energi dan korporasi besar. Padahal, kelas menengah adalah penggerak utama konsumsi energi nasional. Harus ada pendekatan yang lebih inklusif,” tegas Fabby Tumiwa.

Kementerian ESDM mencatat bahwa tingkat adopsi PLTS rumah tangga baru mencapai 0,1% dari total potensi nasional. Penyebabnya adalah minimnya penyedia jasa instalasi, terbatasnya informasi publik, serta belum adanya skema pembiayaan yang terintegrasi dengan sistem perbankan nasional.

Belajar dari Luar Negeri

Negara-negara lain dapat menjadi rujukan bagi Indonesia dalam merancang kebijakan yang lebih partisipatif. Di Jerman, lebih dari 50% kapasitas energi terbarukan dikelola oleh warga dan koperasi lokal, berkat skema subsidi langsung dan tarif pembelian kembali (feed-in tariff) yang kompetitif.

Thailand, melalui program Solar Rooftop Household Scheme, menawarkan kemudahan izin dan tarif pembelian listrik yang menarik, mendorong partisipasi luas rumah tangga, termasuk kelas menengah.

Sayangnya, di Indonesia, dukungan fiskal masih banyak dipusatkan pada korporasi dan proyek skala besar, bukan kepada rumah tangga urban yang sebenarnya memiliki kapasitas konsumsi dan kesadaran ekologis yang berkembang.

Mendorong Kelas Menengah sebagai Subjek Transisi Energi

Agar transisi energi nasional berjalan optimal, kelas menengah harus dilibatkan sebagai subjek aktif, bukan sekadar objek kebijakan. Pemerintah perlu menyusun insentif yang mudah diakses, seperti potongan pajak rumah tangga untuk pembelian alat hemat energi, kredit hijau berbunga rendah, serta feed-in tariff khusus untuk pengguna PLTS atap rumah tangga.

Peningkatan literasi energi juga penting. Kampanye publik berbasis gaya hidup kelas menengah urban, kerja sama dengan sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan komunitas lokal harus diperkuat.

"Transisi energi tidak bisa berjalan dengan pendekatan teknokratis semata. Harus menjadi gerakan sosial yang inklusif, dan untuk itu, partisipasi kelas menengah adalah kuncinya," pungkas Dadan Kusdiana.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index