JAKARTA – Harga batu bara kembali menunjukkan tren penguatan pada perdagangan Selasa, 6 Mei 2025, didorong oleh kombinasi sentimen positif yang memengaruhi pasar global. Di tengah kekhawatiran pasokan dari Australia dan sinyal pemulihan permintaan dari India, pasar batu bara menunjukkan ketahanan meski tekanan dari Tiongkok masih membayangi.
Harga batu bara acuan Newcastle untuk pengiriman Mei 2025 tercatat naik sebesar US$0,9 menjadi US$99,4 per ton. Untuk kontrak pengiriman Juni, harga melonjak US$2,55 menjadi US$104,9 per ton, sementara kontrak Juli bahkan menguat signifikan sebesar US$2,85 ke level US$108,1 per ton.
Tak hanya Newcastle, harga batu bara di pasar Eropa juga mengalami kenaikan. Harga batu bara Rotterdam untuk kontrak Mei 2025 naik sebesar US$2,6 menjadi US$97,35 per ton. Sementara kontrak Juni menguat US$2,4 ke level US$100,6 dan Juli naik US$2,3 menjadi US$100,15 per ton.
Cuaca Buruk Hambat Ekspor Australia
Salah satu pendorong utama kenaikan harga kali ini adalah terganggunya pasokan dari Australia akibat cuaca buruk. Dikutip dari Trading Economics, perusahaan tambang raksasa Whitehaven melaporkan bahwa aktivitas ekspor terganggu pada kuartal I-2025, terutama di penghujung April, yang menyebabkan keterlambatan pengiriman dan penurunan volume pasokan ke pasar internasional.
“Cuaca ekstrem di sejumlah wilayah tambang Australia memengaruhi rantai pasokan secara langsung. Ini menjadi salah satu alasan utama mengapa harga kembali naik,” tulis laporan dari Trading Economics.
Pasar Batu Bara Global Diprediksi Terus Tumbuh
Sentimen positif juga datang dari proyeksi pertumbuhan pasar batu bara dunia yang dirilis oleh IndexBox dalam laporan bertajuk World - Coal - Market Analysis, Forecast, Size, Trends and Insights. Laporan tersebut menyatakan bahwa konsumsi batu bara global diprediksi akan tumbuh dengan compound annual growth rate (CAGR) sebesar 1% dalam periode 2024 hingga 2035.
Pada akhir 2035, volume konsumsi diperkirakan mencapai 9.917 juta ton. Namun demikian, nilai pasar secara nominal justru diperkirakan turun dengan CAGR -2,9% selama periode yang sama, dengan estimasi nilai pasar sebesar US$1.475,8 miliar pada tahun tersebut. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh tren harga batu bara yang lebih rendah di masa mendatang seiring transisi energi global ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan.
“Pasar batu bara masih memiliki ruang pertumbuhan dari sisi volume, terutama di negara berkembang. Namun dari sisi nilai, tekanan akan tetap tinggi seiring dengan dorongan global untuk dekarbonisasi,” demikian tertulis dalam laporan IndexBox.
Harga di Asia Anjlok, Tapi India Beri Harapan
Meski demikian, tidak semua wilayah menunjukkan tren yang sama. Harga batu bara termal di Asia justru berada pada titik terendah dalam empat tahun terakhir. Hal ini dipicu oleh menurunnya impor dari tiga negara konsumen utama, termasuk China, yang mengurangi pembelian batu bara karena berbagai alasan mulai dari stok yang masih tinggi hingga preferensi terhadap energi bersih.
Namun, di tengah penurunan ini, India menunjukkan sinyal kebangkitan permintaan. Berdasarkan data dari Kpler, India mengimpor 15,31 juta ton batu bara pada April 2025, menjadi level tertinggi sejak Mei 2024. Jumlah ini meningkat dari 14,4 juta ton pada Maret.
Meskipun begitu, secara kumulatif, impor batu bara termal India untuk periode Januari-April 2025 masih mengalami penurunan 6,7% dibandingkan tahun lalu, dengan total sebesar 53,33 juta ton.
“Lonjakan impor India memberikan harapan bagi produsen batu bara global, namun secara keseluruhan angka kumulatifnya masih lebih rendah dibandingkan tahun lalu,” kata analis energi dari Kpler, yang tidak disebutkan namanya dalam laporan tersebut.
Kebijakan Pemerintah India Dorong Permintaan
Untuk memperkuat pasokan energi domestik, Pemerintah India memperpanjang kebijakan yang mewajibkan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara impor untuk tetap beroperasi hingga 30 Juni 2025. Kebijakan ini bertujuan mengantisipasi lonjakan kebutuhan listrik menjelang musim panas, sekaligus mengatasi keterbatasan pasokan dari Coal India Ltd, perusahaan tambang milik negara.
“Kebijakan ini akan menjadi katalis positif bagi peningkatan permintaan batu bara impor dalam jangka pendek,” jelas seorang pejabat di Kementerian Energi India dalam wawancara dengan media lokal.
Namun, sejumlah analis menilai bahwa peningkatan permintaan dari India belum cukup kuat untuk menutupi penurunan permintaan dari China, yang merupakan konsumen batu bara terbesar dunia. Jika permintaan China terus melambat, pasar global bisa kembali mengalami tekanan pada kuartal mendatang.
Ketidakpastian Masih Membayangi
Meskipun saat ini harga menunjukkan tren menguat, para pelaku pasar tetap harus mewaspadai potensi volatilitas. Beberapa faktor yang perlu dicermati adalah perkembangan geopolitik, kebijakan ekspor-impor di negara-negara utama penghasil batu bara, serta arah kebijakan transisi energi di berbagai belahan dunia.
Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir juga mengingatkan bahwa ketegangan geopolitik seperti konflik India-Pakistan bisa memberikan tekanan tambahan terhadap ekspor komoditas, termasuk batu bara dan kelapa sawit.
“Ketegangan di kawasan Asia Selatan bisa berdampak langsung terhadap volume ekspor kita. Pelaku usaha perlu siap menghadapi berbagai skenario yang mungkin terjadi,” ujar Erick Thohir dalam pernyataan resmi belum lama ini.
Lonjakan harga batu bara yang terjadi pada awal Mei 2025 menjadi indikasi bahwa pasar masih sangat dipengaruhi oleh dinamika pasokan dan permintaan global. Gangguan pasokan dari Australia, kebijakan energi India, serta prediksi pertumbuhan jangka panjang memberikan sentimen positif yang menopang harga. Namun demikian, ancaman penurunan permintaan dari Tiongkok dan faktor-faktor global lainnya masih akan menjadi tantangan bagi keberlanjutan tren kenaikan ini.
Dengan demikian, pelaku industri, eksportir, dan investor disarankan untuk terus mencermati perkembangan terkini serta memperkuat strategi mitigasi risiko dalam menghadapi volatilitas pasar batu bara yang masih tinggi.