Energi hijau

Perempuan Mongolia yang Mendorong Transisi Energi Hijau dan Keadilan Iklim

Perempuan Mongolia yang Mendorong Transisi Energi Hijau dan Keadilan Iklim
Perempuan Mongolia yang Mendorong Transisi Energi Hijau dan Keadilan Iklim

Jakarta - Dari bentangan padang rumput Mongolia yang luas dan berangin, muncul sosok inspiratif dalam perjuangan transisi energi hijau: Gereltuya Bayanmunkh. Aktivis lingkungan ini tak hanya dikenal karena dedikasinya terhadap isu iklim, tapi juga karena keberaniannya dalam memperjuangkan keadilan gender dan pelibatan anak muda dalam sektor energi terbarukan, Senin, 7 April 2025.

Gereltuya, yang masa kecilnya dihabiskan di tengah alam terbuka Mongolia, menemukan panggilannya dalam dunia advokasi iklim melalui kedekatan personal dengan lingkungan. “Secara logis itu masuk akal bagi saya, dan di hati saya, saya masih anak kecil yang berlari-lari di padang rumput,” ujarnya hangat, mengenang masa kecilnya.

Krisis Iklim: Masalah Induk Kesehatan Manusia

Bagi Gereltuya, krisis iklim adalah akar dari berbagai tantangan global, terutama yang menyangkut kesehatan manusia. Oleh karena itu, ia menyebut transisi energi sebagai bentuk aksi iklim paling penting kedua setelah perlindungan lingkungan secara umum.

“Transisi energi bukan hanya strategi, ini adalah panggilan moral,” tegasnya. Menurutnya, mendorong penggunaan energi bersih dan terbarukan adalah langkah konkret yang bisa menyelamatkan masa depan generasi mendatang.

Potensi Energi Terbarukan Mongolia Sangat Besar

Mongolia dikenal memiliki potensi besar dalam energi terbarukan, terutama tenaga surya dan angin. “Dari semua itu, energi surya adalah yang paling besar potensinya,” ungkap Gereltuya.

Namun, eksplorasi potensi ini masih terhambat oleh berbagai tantangan, termasuk dominasi laki-laki dalam kepemimpinan sektor energi. Gereltuya menyebut, sejak Mongolia menjadi negara demokrasi pada 1990, setidaknya sudah ada 18 kementerian energi yang terbentuk—namun belum satu pun dipimpin oleh perempuan.

“Perempuan adalah spesialis, koordinator, penulis dokumen utama yang diajukan ke lembaga besar,” jelasnya. “Saya melihat banyak pemimpin perempuan dalam energi terbarukan, jadi saya punya harapan besar akan peningkatan partisipasi menuju kesetaraan gender.”

Anak Muda sebagai Ujung Tombak Perubahan

Meski kesetaraan gender masih menghadapi tantangan struktural, partisipasi generasi muda dalam gerakan iklim di Mongolia justru menunjukkan tren positif. Gereltuya bersama timnya telah menjalankan kampanye tahunan bertajuk Earth Month yang berhasil menggerakkan lebih dari 300 anak muda Mongolia dalam dua tahun terakhir.

Melalui aplikasi AWorld.org, para pemuda ini diajak melakukan aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari yang ramah lingkungan. Hasilnya? Lebih dari 125.000 kontribusi tercatat, menghemat lebih dari satu juta kilogram emisi karbon dioksida, 17 juta liter air, dan ribuan jam energi.

“Kami menunjukkan bahwa banyak orang di Mongolia juga melakukan aksi,” tuturnya. “Anda tidak perlu menjadi ilmuwan, cukup peduli pada lingkungan dan berkontribusi.”

Gereltuya juga mendorong pemuda Indonesia untuk meniru gerakan serupa. Menurutnya, perubahan bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti mematikan keran saat menyikat gigi atau mematikan televisi yang tidak digunakan.

Pendidikan Energi untuk Komunitas Nomaden

Masalah akses energi yang aman dan efisien juga menjadi perhatian besar. Di Mongolia, sebagian besar masyarakat nomaden masih menggunakan sistem tenaga surya yang sudah usang dan tidak aman. Di sinilah pentingnya edukasi mengenai teknologi energi terbaru.

“Jika kami bisa mendidik mereka tentang inovasi terbaru dan efisiensi biaya, kualitas hidup mereka bisa meningkat,” ujar Gereltuya. Ia menekankan bahwa energi bukan sekadar tentang akses listrik, tetapi juga menyangkut aspek kesehatan dan umur panjang.

Membangun Sistem Inklusif dan Adil

Tak hanya soal teknologi dan edukasi, Gereltuya percaya bahwa perubahan sejati membutuhkan reformasi dalam sistem pengambilan keputusan. Menurutnya, bias dalam struktur kekuasaan harus diakui dan diatasi.

“Kita harus sadar dan mengatasi bias kita sendiri, lalu mulai bersikap lebih inklusif dan menghargai keberagaman dalam pengambilan keputusan,” tandasnya.

Harapannya, sistem kebijakan di sektor energi dapat menjadi lebih adil, tidak hanya dalam kecepatan dan transparansi, tetapi juga dalam hal distribusi kekuasaan dan suara antara laki-laki dan perempuan.

Relevansi untuk Indonesia

Kerja-kerja yang dilakukan oleh Gereltuya di Mongolia menunjukkan bahwa perubahan bisa dilakukan dari akar rumput, bahkan di negara dengan iklim ekstrem dan tantangan geografis seperti Mongolia. Model ini, jika disesuaikan dengan konteks lokal, juga sangat relevan diterapkan di Indonesia—sebuah negara dengan potensi energi terbarukan yang luar biasa, tetapi masih bergulat dengan ketimpangan akses dan partisipasi.

Dengan pendekatan berbasis komunitas, edukasi, dan pemberdayaan anak muda, Indonesia juga bisa mempercepat transisi menuju energi bersih dan masa depan yang lebih berkelanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index