Batu Bara

Proyek Gasifikasi Batu Bara Kembali Dilanjutkan, Pemerintah Dikritik Lembaga Lingkungan

Proyek Gasifikasi Batu Bara Kembali Dilanjutkan, Pemerintah Dikritik Lembaga Lingkungan
Proyek Gasifikasi Batu Bara Kembali Dilanjutkan, Pemerintah Dikritik Lembaga Lingkungan

Jakarta – Pemerintah Indonesia kembali menuai kritik tajam usai Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan kelanjutan proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME). Proyek ini akan didanai oleh Danantara dan mencakup tiga lokasi utama di Sumatera dan Kalimantan, Senin, 7 April 2025.

Instruksi tersebut disampaikan Presiden Prabowo dalam rapat terbatas bersama Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional yang digelar di Istana Merdeka pada awal Maret 2025. Tujuannya adalah mempercepat hilirisasi batu bara guna mengurangi ketergantungan impor LPG dan mendorong kemandirian energi nasional.

Namun, keputusan ini segera mengundang kontroversi, terutama dari kalangan aktivis lingkungan. Mereka menilai langkah pemerintah justru bertentangan dengan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan transisi energi bersih yang digaungkan secara global.

DME Dinilai Bukan Solusi Energi Bersih

Proyek gasifikasi batu bara menjadi DME disebut pemerintah sebagai alternatif bahan bakar ramah lingkungan pengganti LPG. Namun, data dan analisis dari lembaga lingkungan menunjukkan sebaliknya.

“Pemerintah memberikan kabar buruk dengan rencana pendanaan Danantara untuk gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME). Batu bara adalah energi kotor sejak dari hulu (proses pertambangan) hingga hilirnya (pembakarannya),” tegas Firdaus Cahyadi, pendiri Indonesian Climate Justice Literacy, dalam keterangannya kepada media.

Firdaus juga menambahkan bahwa proses gasifikasi batu bara justru menghasilkan emisi yang tinggi, bahkan lebih besar daripada energi berbasis minyak.

“Emisi GRK itu dihasilkan sejak dari hulu, proses ekstraksi batu bara sebagai bahan baku, hingga di hilirnya, proses produksi DME,” ujarnya.

Data dari organisasi lingkungan Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER) menguatkan kritik tersebut. AEER menyebut bahwa produksi DME menghasilkan emisi sekitar 824.000 ton CO2 ekuivalen per tahun, atau lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan produksi LPG dalam jumlah yang sama.

Kepentingan Industri Batu Bara Jadi Sorotan

Firdaus juga menyatakan bahwa proyek ini bukan bagian dari solusi energi nasional, melainkan hanya upaya menyelamatkan bisnis batu bara yang semakin ditinggalkan dunia.

“Ironis, di saat masyarakat, baik nasional maupun internasional, memiliki kesadaran lingkungan hidup dengan menjauhi energi kotor batubara, pemerintah justru ingin memperpanjang penggunaannya melalui solusi palsu gasifikasi batu bara,” ungkapnya.

Menurutnya, pendanaan proyek ini melalui Danantara justru akan lebih menguntungkan industri batu bara daripada masyarakat luas.

“Dapat dikatakan, pendanaan Danantara untuk hilirisasi batu bara bertujuan untuk menyelamatkan industri batu bara, bukan untuk kepentingan mayoritas masyarakat Indonesia,” tegas Firdaus.

Ia juga mengungkapkan bahwa proyek-proyek seperti ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh elite pendukung energi berbasis fosil di dalam lingkar kekuasaan.

“Sebelumnya pemerintah juga menyelamatkan industri batu bara dengan membagi-bagi konsesi tambang batubara kepada organisasi massa (ormas) Islam,” tambahnya.

Seruan Penolakan Publik

Firdaus menegaskan bahwa langkah perlawanan terhadap kebijakan ini harus datang dari publik. Ia memperingatkan bahwa jika masyarakat tidak bersuara, maka dampaknya akan dirasakan oleh rakyat secara luas, terutama yang berada di garis depan dampak krisis iklim.

“Jika publik diam, keselamatan mayoritas warga akan dipertaruhkan untuk memenuhi kepentingan segelintir orang super kaya, yang kebetulan dekat atau berada di pusat kekuasaan politik,” tegasnya.

Pemerintah Belum Berikan Tanggapan Resmi

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Istana maupun Danantara terkait kritik yang disampaikan oleh aktivis lingkungan tersebut. Pemerintah sebelumnya menyatakan bahwa hilirisasi batu bara menjadi bagian dari strategi nasional untuk mengurangi impor LPG dan memperkuat ketahanan energi nasional.

Namun, kritik atas proyek ini menjadi pengingat bahwa transisi energi bersih tak hanya bergantung pada teknologi dan investasi, tapi juga pada keberanian politik untuk meninggalkan sumber energi kotor yang telah lama menjadi andalan.

Dengan tekanan dari publik dan komunitas internasional terkait komitmen iklim, pemerintah Indonesia kini dihadapkan pada dilema antara mendorong pertumbuhan ekonomi melalui hilirisasi sumber daya alam atau menjaga komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index