JAKARTA - Industri minyak sawit merupakan salah satu sektor strategis bagi perekonomian Indonesia. Namun, industri ini sering kali menjadi sasaran kritik, terutama terkait isu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Untuk menjawab berbagai mitos yang beredar serta menyampaikan fakta yang sebenarnya, Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (Himatek ITB) bekerjasama dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) menggelar Seminar Bedah dan Diseminasi Buku bertajuk “Mitos vs Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia” di Auditorium SBM ITB.
Acara ini menyoroti bagaimana buku edisi keempat tersebut berusaha menangkal persepsi negatif terhadap industri minyak sawit yang semakin merebak di kalangan masyarakat global. Seminar dibuka oleh Anwar Sadat, Senior Analyst Divisi UKMK BPDPKS, yang menegaskan peran penting Indonesia dalam industri minyak nabati dunia. "Indonesia memegang 60% pangsa pasar minyak nabati, berperan sebagai produsen dan konsumen terbesar," ungkap Anwar.
Lebih lanjut, Anwar juga menjelaskan pentingnya minyak sawit dalam kontribusinya terhadap devisa negara serta dampaknya dalam berbagai sektor seperti ketahanan pangan dan energi. Misalnya, pencapaian minyak sawit dapat menyumbang sekitar 3,5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Edukasi untuk Menghadapi Stigma
Moderator seminar, Jenny Rizkiana, S.T., M.T., Ph.D., Dosen Teknik Kimia ITB, memimpin sesi diskusi yang melibatkan empat panelis ahli. Salah satu di antaranya, Dr. Ir. Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif PASPI, menegaskan pentingnya edukasi untuk memperkuat citra minyak sawit. "Stigma negatif seperti minyak sawit sebagai penyebab kolesterol dan deforestasi harus dilawan dengan edukasi dan sosialisasi yang benar," tegasnya.
Sipayung juga menjelaskan bahwa minyak sawit merupakan komoditas unggulan yang digunakan tidak hanya di bidang pangan tetapi pada energi, sehingga sangat menjanjikan untuk masa depan.
Bioenergi dan Hilirisasi
Topik hilirisasi sawit jalur bioenergi dipaparkan oleh Dr. Ir. C. B. Rasrendra, S.T., M.T., Dosen Teknik Bioenergi & Kemurgi ITB. Menurut Dr. Rasrendra, produk biodiesel B35 adalah salah satu bukti keberhasilan minyak sawit. "Minyak sawit mirip dengan hidrokarbon dan dapat dikonversi menjadi diesel serta avtur. Hal ini menunjukkan potensi besar sawit dalam bioenergi," ujarnya.
Beliau menambahkan bahwa pengolahan minyak sawit yang tepat bisa menjadikan Indonesia pemain utama dalam masa transisi energi dan bioekonomi global.
Memadukan Keberlanjutan dengan Produksi
Bergerak ke isu lingkungan, Prof. Dr. Elfahmi, S.Si., M.Si. mengingatkan peserta agar terus inovatif dan mengikuti filosofi air yang mengalir. "Keberlanjutan adalah kunci, penting untuk menangani stigma dan fakta negatif dengan solusi konkrit," terangnya. Beliau menekankan pentingnya pengembangan kapasitas dan teknologi dalam pengolahan untuk meningkatkan nilai jual sawit.
Dr. Elham Sumarga, S.Hut., M.Si. dalam sesi berikutnya menyoroti berbagai data dari buku tersebut yang membantah klaim bahwa perkebunan kelapa sawit adalah penyebab utama emisi rumah kaca. Ia mengatakan bahwa sektor energi sebenarnya penyumbang terbesar emisi tersebut. "Prioritaskan peningkatan produksi per hektare dibandingkan ekspansi. Lakukan ekspansi di lahan terbengkalai untuk meningkatkan penyerapan karbon," imbaunya.
Seminar ini berakhir dengan kesepakatan bahwa minyak sawit, yang memiliki berbagai keunggulan, belum tergantikan di pasar global. Namun, tantangan keberlanjutan masih menjadi pekerjaan rumah bagi pelaku industri. Tujuan dunia akan produk sawit yang lebih berkelanjutan dapat dicapai dengan memperbaiki kualitas, tata kelola, emisi yang dihasilkan, serta percepatan hilirisasi.
Menghadapi persepsi negatif dan tantangan lingkungan, edukasi dan inovasi menjadi kunci penting. Dengan demikian, industri minyak sawit Indonesia dapat terus mempertahankan perannya yang strategis di kancah global tanpa mengabaikan keberlanjutan lingkungan.