Nikel

RI Tambah Impor Nikel Filipina Demi Stabilitas Smelter

RI Tambah Impor Nikel Filipina Demi Stabilitas Smelter
RI Tambah Impor Nikel Filipina Demi Stabilitas Smelter

JAKARTA - Indonesia diperkirakan akan terus melakukan impor bijih nikel dari Filipina sepanjang 2025. Meski demikian, pelaku industri dalam negeri menegaskan volume impor tersebut tidak akan sebesar yang diklaim oleh pihak Filipina. Langkah impor ini lebih difokuskan untuk menjaga stabilitas produksi smelter lokal di tengah tantangan pasokan dalam negeri.

Anggota Dewan Penasihat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno, menegaskan kebutuhan impor nikel dilakukan secara terukur untuk menyesuaikan dengan kebutuhan industri. “Tujuan dari penambahan impor bijih nikel dari Filipina ini adalah untuk menjaga kelancaran operasional smelter di Indonesia, khususnya saat pasokan lokal terganggu,” ujar Djoko.

Namun, Djoko memastikan volume impor tetap berada di bawah 10 juta ton. Salah satu pertimbangannya adalah biaya pengolahan bijih nikel dari Filipina cenderung lebih tinggi karena kadar nikel yang lebih rendah. “Harga pengolahan nikel dari Filipina dengan kadar 1,4 persen lebih mahal, apalagi saat ini pasar feronikel sedang mengalami tekanan harga, sehingga margin keuntungan juga lebih sempit,” jelasnya.

Di tengah kondisi harga nikel global yang masih loyo, opsi impor tetap dilakukan agar industri smelter tetap berjalan optimal. Harga bijih lokal saat ini memang mengalami kenaikan, tetapi tetap berada di bawah harga bijih nikel Filipina. Di sisi lain, harga nikel olahan global terus tertekan akibat oversupply yang masih terjadi di pasar dunia.

Berdasarkan data London Metal Exchange (LME), harga nikel global saat ini berada di level US$15.064 per ton, mengalami penurunan 0,88 persen dibandingkan penutupan sebelumnya. Harga nikel ini telah terjun jauh dari masa kejayaannya di atas US$20.000 per ton pada periode 2022-2023.

Djoko juga menekankan perlunya pemerintah memonitor dinamika pasar nikel internasional, termasuk kebijakan ekspor dari Filipina. “Kontrol terhadap pasokan dalam negeri dan memonitor kebijakan Filipina menjadi langkah penting agar sektor industri tetap stabil,” tegasnya.

Mengacu pada data United States Geological Survey (USGS), Indonesia tercatat sebagai produsen nikel terbesar di dunia, menyumbang sekitar 59,46 persen produksi nikel global. Untuk tahun 2024, target produksi bijih nikel Indonesia mencapai 240 juta ton sesuai Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB), meningkat dari 193,5 juta ton pada 2023.

Meski demikian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan tetap mengevaluasi produksi nikel tahun 2025. Tujuannya menjaga keseimbangan antara produksi, kebutuhan industri, dan pergerakan harga nikel baik domestik maupun internasional.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menyatakan belum dapat memastikan klaim volume impor yang disampaikan perusahaan tambang Filipina. Sebelumnya, pihak DMCI Holdings Inc. dari Filipina menyebut potensi ekspor bijih nikel mereka ke Indonesia bisa mencapai 5-10 juta ton.

“Data pastinya akan terlihat dari realisasi pengiriman kargo ke Indonesia. Sampai saat ini belum ada laporan volume sebesar itu,” ujar Hendra.

Namun, Hendra tidak menampik adanya permintaan impor bijih nikel dari Filipina yang cukup konsisten. Menurutnya, hal ini dipengaruhi oleh karakteristik bijih nikel Filipina yang sesuai spesifikasi beberapa smelter di Indonesia. “Banyak smelter membutuhkan bijih dengan rasio silika-magnesium yang lebih rendah, dan karakteristik ini terdapat pada bijih Filipina,” ungkapnya.

Terkait anggapan bahwa kebijakan pengetatan RKAB oleh pemerintah mendorong impor meningkat, Hendra menyebutkan bahwa perubahan aturan justru membantu penambang menyusun strategi produksi yang lebih fleksibel. “Dengan evaluasi RKAB satu tahun, penambang bisa lebih adaptif terhadap dinamika pasar,” katanya.

Sebelumnya, Presiden Unit Pertambangan DMCI, Tulsi Das Reyes, mengungkapkan proyeksi ekspor bijih nikel dari Filipina ke Indonesia bisa melonjak hingga 10 juta ton pada 2025, dari hanya 1 juta ton di akhir 2023. Reyes menilai pengiriman ke Indonesia meningkat lantaran penguatan kebijakan pengendalian produksi oleh pemerintah RI.

Namun Reyes juga menilai tren peningkatan ekspor tersebut tidak akan bersifat permanen. “Jika saya Indonesia, saya akan memaksimalkan sumber daya dalam negeri. Bahkan produsen China pun akan mengutamakan suplai dari mitra lokal mereka di Indonesia,” ucapnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total impor bijih dan konsentrat nikel Indonesia dari Filipina pada Januari-Mei 2025 mencapai 2,77 juta ton. Pada 2024 lalu, impor nikel dari Filipina tercatat sebesar 10,18 juta ton dengan titik masuk utama di Morowali, Weda Bay, dan Samarinda.

Adapun Filipina merupakan produsen bijih nikel terbesar kedua dunia. Namun, negara tersebut masih tertinggal dari Indonesia dalam pengembangan hilirisasi karena tingginya biaya investasi pengolahan. Upaya pelarangan ekspor bijih mentah oleh pemerintah Filipina juga belum membuahkan hasil, setelah parlemen menolak kebijakan tersebut menyusul penolakan dari pelaku industri nikel lokal.

Dengan kondisi ini, Indonesia diperkirakan akan terus memanfaatkan pasokan bijih nikel dari Filipina secara terbatas, sambil mengoptimalkan produksi dalam negeri. Pemerintah diharapkan menjaga keseimbangan industri demi kelangsungan smelter serta stabilitas harga pasar nikel global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index