Transportasi

Transportasi Pulo Aceh Masih Andalkan Kapal Kayu

Transportasi Pulo Aceh Masih Andalkan Kapal Kayu
Transportasi Pulo Aceh Masih Andalkan Kapal Kayu

JAKARTA - Hingga pertengahan 2025, kapal kayu tradisional masih menjadi sarana utama transportasi bagi warga di kepulauan terpencil Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, untuk menyeberang menuju Kota Banda Aceh. Kondisi ini terlihat jelas di Dermaga Lampuyang, Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar, Aceh, Kamis, 26 Juni 2025, saat sejumlah kapal kayu nelayan bersandar menunggu penumpang dan muatan.

Kapal-kapal kayu tersebut menjadi tulang punggung akses warga dari pulau-pulau di sekitar Pulo Aceh menuju pusat pemerintahan, layanan kesehatan, pendidikan, hingga pusat perekonomian di Banda Aceh. Transportasi tradisional ini juga digunakan untuk mendistribusikan berbagai kebutuhan pokok, mulai dari beras, minyak goreng, hingga bahan bangunan, serta kebutuhan energi seperti bahan bakar minyak (BBM) dan gas elpiji.

“Ini satu-satunya sarana transportasi yang bisa kami andalkan setiap hari untuk ke Banda Aceh, baik mengantar hasil laut maupun belanja kebutuhan harian,” ungkap Abdullah, seorang warga Pulo Nasi, salah satu pulau di kawasan Pulo Aceh. Abdullah menambahkan, meski perjalanan dengan kapal kayu membutuhkan waktu lebih lama dan sering terkendala cuaca buruk, pilihan transportasi ini tetap menjadi solusi utama bagi penduduk.

Penggunaan kapal kayu sebagai transportasi penyeberangan bukan hanya tradisi yang mengakar, tetapi juga kebutuhan mendesak mengingat keterbatasan akses transportasi modern ke pulau-pulau tersebut. Padahal, pemerintah telah mengoperasikan KMP Papuyu yang melayani rute Banda Aceh–Pulo Aceh melalui PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Namun, menurut sejumlah warga, jadwal pelayaran KMP Papuyu yang tidak setiap hari dan kapasitas angkut yang terbatas membuat kapal kayu masih menjadi andalan.

“KMP Papuyu memang membantu, tetapi jadwalnya tidak setiap hari. Kalau ada urusan mendesak, kami tidak bisa menunggu kapal ferry. Akhirnya, kapal kayu ini yang jadi solusi,” kata Syamsidar, warga Pulo Breuh, pulau lainnya di kawasan Pulo Aceh.

Kepala Dinas Perhubungan Aceh Besar, M. Hasan, mengakui bahwa pemerintah daerah terus berupaya meningkatkan akses transportasi bagi warga kepulauan. Salah satunya melalui pengadaan kapal perintis dan subsidi transportasi laut untuk meminimalkan ketergantungan pada kapal kayu tradisional yang tidak memenuhi standar keselamatan modern.

“Kami memahami kebutuhan mendesak warga di pulau-pulau. Namun, penggunaan kapal tradisional memiliki risiko keselamatan yang lebih tinggi. Karena itu, pemerintah terus mendorong peningkatan layanan kapal perintis dan mengatur jadwal KMP Papuyu agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” jelas Hasan.

Meski demikian, Hasan juga mengakui tantangan besar dalam upaya modernisasi transportasi ke Pulo Aceh. Salah satunya terkait keterbatasan infrastruktur dermaga yang memadai untuk kapal dengan ukuran lebih besar dari kapal kayu. Beberapa dermaga di Pulo Aceh masih berupa bangunan sederhana yang tidak bisa menampung kapal dengan draft dalam.

“Peningkatan kualitas dermaga dan fasilitas pendukung lain juga menjadi prioritas pemerintah daerah agar transportasi laut di kawasan ini semakin aman dan nyaman,” tambah Hasan.

Menurut catatan PT ASDP Indonesia Ferry, KMP Papuyu memiliki kapasitas angkut sekitar 150 penumpang dan beberapa kendaraan roda dua. Kapal ini dioperasikan sebagai bagian dari program tol laut pemerintah untuk meningkatkan konektivitas antarwilayah, khususnya ke daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Namun, frekuensi pelayaran yang hanya beberapa kali dalam seminggu masih belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan mobilitas harian warga Pulo Aceh.

Keterbatasan ini berdampak langsung pada distribusi kebutuhan pokok. Para pedagang di pulau harus menyesuaikan stok barang dengan jadwal kapal yang ada. Jika kapal ferry tidak berlayar, kapal kayu menjadi satu-satunya pilihan untuk membawa pasokan barang penting ke pulau. Biaya transportasi dengan kapal kayu pun lebih mahal karena menggunakan sistem carter dan risiko cuaca ekstrem.

“Kalau angin kencang, gelombang bisa tinggi, dan itu berbahaya bagi kapal kayu kecil. Tapi kalau kebutuhan mendesak, tetap kami berangkat,” kata Nasrul, pemilik kapal kayu di Dermaga Lampuyang.

Pengamat transportasi laut dari Universitas Syiah Kuala, Ardiansyah, menilai masih dominannya kapal kayu sebagai transportasi utama di Pulo Aceh menandakan bahwa program tol laut belum optimal diimplementasikan. Ia menekankan pentingnya pemerintah pusat dan daerah memperkuat infrastruktur transportasi laut, termasuk penambahan armada dan jadwal kapal perintis, serta modernisasi dermaga di pulau-pulau terpencil.

“Modernisasi layanan transportasi di daerah kepulauan seperti Pulo Aceh tidak hanya berdampak pada kelancaran mobilitas orang dan barang, tetapi juga berkontribusi langsung pada percepatan pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan,” ujar Ardiansyah.

Ia juga menegaskan, transportasi yang andal dan aman akan mendorong pertumbuhan sektor lain, termasuk pariwisata bahari yang memiliki potensi besar di kawasan Pulo Aceh. “Pulo Aceh menyimpan keindahan alam laut yang luar biasa. Jika akses transportasinya membaik, wisatawan akan lebih mudah datang, sehingga membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat setempat,” tambahnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Besar, kawasan Pulo Aceh memiliki populasi lebih dari 7.000 jiwa yang tersebar di sejumlah pulau utama seperti Pulo Breuh, Pulo Nasi, dan Pulo Bunta. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani kelapa. Ketergantungan pada transportasi laut menjadi mutlak karena keterisolasian geografis wilayah.

Pemerintah Aceh Besar bersama pemerintah provinsi Aceh juga telah merancang rencana jangka menengah untuk memperbaiki konektivitas ke pulau-pulau di Pulo Aceh, termasuk melalui program pembangunan kapal cepat dan perbaikan dermaga. Namun, keterbatasan anggaran dan kondisi geografis yang menantang membuat realisasi program ini belum berjalan maksimal.

Sementara itu, warga berharap pemerintah segera merealisasikan solusi konkret agar tidak lagi bergantung pada kapal kayu nelayan. “Kami hanya ingin transportasi yang aman, terjangkau, dan jadwal yang pasti,” pungkas Abdullah.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index