JAKARTA – Pelemahan nilai tukar rupiah yang terus berlanjut berpotensi meningkatkan risiko bagi industri perbankan nasional. Kondisi ini dapat berdampak pada beban utang, tekanan terhadap permodalan bank, serta peningkatan suku bunga acuan. Meskipun saat ini masih terkendali, bank perlu mengantisipasi dampak yang mungkin timbul dengan melakukan langkah mitigasi.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengungkapkan bahwa risiko pelemahan rupiah terhadap perbankan Indonesia ke depan berpotensi meningkat secara signifikan. Hal ini didorong oleh kebijakan tarif perdagangan yang agresif dari Amerika Serikat (AS) serta meningkatnya ketidakpastian global yang mempengaruhi sentimen pasar.
“Pelemahan rupiah yang tajam bisa memicu beberapa dampak negatif bagi industri perbankan, terutama melalui jalur risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas,” ujar Josua saat dihubungi dari Jakarta.
Tekanan terhadap Kredit dan Permodalan
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah pada perdagangan spot Jumat, 4 April 2025, dibuka di level Rp 16.660 per dolar AS, mengalami apresiasi 0,66 persen dibandingkan pembukaan hari sebelumnya. Namun, secara tahun kalender berjalan, rupiah tercatat melemah 3,27 persen.
Josua menambahkan, pelemahan rupiah cenderung meningkatkan beban utang dalam denominasi valuta asing (valas) yang dimiliki oleh korporasi Indonesia. Kondisi ini menjadi perhatian utama karena mayoritas debitor utama perbankan nasional berasal dari sektor korporasi. Jika rupiah terus terdepresiasi, risiko gagal bayar korporasi akan meningkat, yang pada akhirnya dapat memengaruhi rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) perbankan.
Selain itu, depresiasi rupiah juga dapat menekan rasio kecukupan modal perbankan, terutama bagi bank yang memiliki eksposur besar terhadap valas. Fluktuasi nilai tukar yang tinggi meningkatkan kebutuhan bank untuk melakukan lindung nilai (hedging), yang pada akhirnya menambah biaya operasional serta menggerus profitabilitas bank.
Mitigasi Risiko dan Peran Bank Indonesia
Untuk menghadapi ancaman ini, perbankan perlu meningkatkan manajemen risiko nilai tukar secara proaktif. Salah satu langkah mitigasi yang direkomendasikan adalah memperkuat kapasitas lindung nilai melalui instrumen derivatif atau mengurangi ketidakseimbangan (mismatch) antara aset dan liabilitas valas.
“Perbankan harus memperkuat permodalan dan cadangan kerugian kredit guna mengantisipasi peningkatan risiko kredit akibat pelemahan rupiah. Selain itu, uji stres (stress test) berkala juga harus dilakukan untuk menilai daya tahan bank terhadap skenario depresiasi rupiah yang ekstrem,” tambah Josua.
Di sisi lain, tekanan terhadap rupiah yang berkepanjangan dapat mendorong Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuannya demi menjaga stabilitas nilai tukar. Namun, langkah ini juga berpotensi meningkatkan biaya pendanaan bank (cost of funds), yang pada akhirnya akan menekan margin bunga bersih (net interest margin) dan memperlambat ekspansi kredit.
Koordinasi antara BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Kementerian Keuangan juga menjadi krusial dalam menjaga stabilitas makroekonomi. Kebijakan moneter dan fiskal yang kredibel serta transparan diperlukan guna menjaga kepercayaan investor domestik maupun asing dan mengurangi tekanan spekulatif terhadap rupiah.
Dengan langkah mitigasi yang tepat serta koordinasi yang kuat antarotoritas, diharapkan stabilitas sektor perbankan dapat tetap terjaga di tengah tekanan nilai tukar yang masih berlanjut.