Deforestasi Masyarakat Adat, dan Paradox Kebijakan Energi Terbarukan di Indonesia

Jumat, 03 Januari 2025 | 08:30:17 WIB
Deforestasi Masyarakat Adat, dan Paradox Kebijakan Energi Terbarukan di Indonesia

JAKARTA – Dalam upaya global beralih dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan, Indonesia menghadapi dilema besar. Meskipun inovasi ini berpotensi memberikan umur panjang bagi planet kita, ia juga membawa risiko serius terhadap hutan dan masyarakat yang bergantung padanya. Pemanfaatan hutan tanaman energi (HTE) yang terus berkembang di Indonesia berpotensi menjadi ancaman baru bagi lingkungan dan masyarakat adat.

Konsep HTE bertujuan untuk memberikan solusi dalam meningkatkan bauran energi terbarukan nasional. Akan tetapi, berbagai indikasi menunjukkan bahwa, jika tidak dikelola dengan baik, konsep ini dapat menyebabkan deforestasi besar-besaran. Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), jutaan hektar hutan berpotensi dikonversi menjadi lahan HTE, mengganggu ekosistem dan masyarakat yang hidup bergantung pada hutan tersebut.

Ancaman Deforestasi Akibat Ekspansi HTE

HTE diarahkan untuk menghasilkan bahan baku energi biomassa, termasuk wood pellet, dari pohon-pohon yang ditanam khusus. Pemerintah telah menetapkan target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025, di mana biomassa adalah salah satu komponen utamanya. Namun, penebangan hutan alam sudah terjadi, meskipun pemerintah menjanjikan bahwa hanya lahan terdegradasi yang akan digunakan.

Berdasarkan analisis FWI, 1,3 juta hektar lahan hutan tanaman industri telah dialihfungsikan menjadi HTE. Lebih dari itu, 2 juta hektar tanah baru telah mendapat izin untuk tujuan yang sama. Potensi konversi ini memicu kegelisahan lebih lanjut mengenai deforestasi besar-besaran. Prediksinya adalah sekitar 4 juta hektar dari usaha kehutanan multiusaha akan mengikuti jejak ini, mencakup 4,65 juta hektar hutan alam dalam konsesi hutan.

Dampak Sosial bagi Masyarakat Adat

Perubahan penggunaan tanah bukan hanya soal lingkungan. Bagi masyarakat adat, ini adalah persoalan hidup dan mati. Konsesi untuk HTE seringkali terletak di tanah yang secara tradisional ditempati oleh masyarakat adat seperti suku Anak Dalam di Jambi, yang ruang hidupnya semakin terdesak oleh ekspansi tanaman energi. Kehilangan tanah berarti kehilangan sumber mata pencaharian mereka yang telah bergantung pada hutan secara berkelanjutan.

Suku Anak Dalam menggambarkan hal ini dengan keprihatinan nyata. "Kami tidak hanya kehilangan tanah, tetapi juga kehilangan identitas kami," ujar seorang pemimpin suku yang enggan disebutkan namanya. Pernyataan ini menggambarkan bagaimana kebijakan tersebut mengesampingkan kesejahteraan masyarakat adat demi keuntungan perusahaan besar, baik domestik maupun asing.

Paradoks Ekonomi di Sektor Bioenergi

Selain isu sosial dan ekologis, aspek ekonomi dari pengelolaan HTE juga menuai kritik. Banyak konsesi dipegang oleh perusahaan dengan hubungan asing, menyebabkan ketidakseimbangan dalam rantai pasok produk bioenergi. Sebagian besar biomassa diekspor ke negara lain seperti Jepang dan Korea, sementara kebutuhan domestik energi terbarukan tidak sepenuhnya tergarap.

Situasi di Jambi dengan PT Hijau Artha Nusa, yang memiliki investasi dari Korea Selatan, menunjukkan bagaimana sumber daya lokal lebih menguntungkan negara lain. Indonesia kerap menjadi pemasok luar, ketimbang menikmati manfaat langsung bahan baku untuk energi terbarukan.

Praktik Ilegal dan Kerugian Negara

Ekspor ilegal biomassa dan kayu menjadi masalah besar lainnya. Praktik seperti transshipment menghindari pencatatan yang sah dan menyebabkan kehilangan pendapatan negara. Kendati dinyatakan sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan provisi sumber daya hutan dana reboisasi (PSDHDR), penerimaan tersebut seringkali tidak tercatat. Praktik ini menimbulkan potensi kerugian yang signifikan bagi kas negara.

Selain itu, teknik pembukaan lahan yang merusak menambah emisi karbon dan membahayakan keragaman hayati. Praktik pembersihan lahan dengan alat berat, yang merusak tanah dan ekosistem, kerap mendampingi ekspansi HTE.

Tantangan Koordinasi Antar Kementerian

Masalah lain yang menghambat pengelolaan HTE adalah ketidakselarasan antar kementerian di Indonesia—Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Berbeda pandangan mengenai pelaksanaan kebijakan HTE membuat transisi energi terbarukan di Indonesia tidak berjalan dengan optimal. Kementerian ESDM memberikan perhatian lebih pada pembakaran biomassa untuk listrik, sedangkan KLHK menjaga aspek kehutanan dan lingkungan.

Kebutuhan Pendekatan Baru dalam Pengelolaan HTE

Dalam menghadapi dilema ini, pendekatan holistik dan korektif untuk pengelolaan HTE diperlukan. Pemerintah perlu memastikan kebijakan terkait HTE tidak berdampak negatif terhadap sektor kehutanan dan lingkungan serta melindungi hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal. Audit dan pengawasan ketat terhadap praktik-praktik ilegal menjadi keharusan untuk mencegah kerugian negara serta menciptakan transparansi dalam proses ekspor dan pemanfaatan sumber daya alam.

Di masa mendatang, Indonesia harus fokus untuk mengembangkan skala diversifikasi energi terbarukan yang lebih kecil dan terdesentralisasi. Hal ini akan memastikan transisi energi yang lebih bermanfaat bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di daerah terpencil dengan akses energi terbatas.

Pengelolaan sumber daya energi yang lebih inklusif tidak hanya akan membantu mencapai tujuan transisi energi terbarukan Indonesia, tetapi juga memastikan bahwa proses ini tidak datang dengan harga yang dibayar oleh hutan dan masyarakat adat. Dengan cara ini, tidak hanya bumi akan mendapat manfaat, tetapi Indonesia dapat memastikan manfaat jangka panjang bagi rakyatnya dan lingkungan.

Terkini