JAKARTA - Lonjakan kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia kembali menjadi sorotan. Data terbaru Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, hingga 28 Juli 2025 sudah ada 398 kematian akibat penyakit yang dibawa nyamuk Aedes aegypti ini. Tingkat fatalitas kasus tercatat sebesar 0,42% dari total 95.018 kasus yang terlaporkan.
Ketua Tim Kerja Arbovirosis Kemenkes, Fajar Silalahi, menyebut angka tersebut bahkan terus bertambah. “Sebenarnya yang terbaru sudah 400-an. Ini menunjukkan bahwa masih ada kasus-kasus kematian yang terjadi sepanjang Januari sampai dengan bulan Juli,” ujarnya dalam webinar penanggulangan dengue, Selasa (12/8).
Provinsi dengan Angka Kematian Tertinggi
Berdasarkan pemetaan Kemenkes, Jawa Timur menjadi daerah dengan jumlah kematian tertinggi, yaitu 84 kasus. Posisi berikutnya ditempati Jawa Barat dengan 83 kematian, Jawa Tengah 53 kematian, serta Riau dan Lampung yang masing-masing mencatat 21 kematian.
Adapun provinsi dengan jumlah kasus DBD tertinggi secara umum meliputi Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Namun, Fajar tidak merinci jumlah pasti kasus di masing-masing daerah tersebut.
“Memang untuk dengue ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan DKI Jakarta yang menjadi kantong-kantong tempat dengue yang cukup banyak,” tambahnya.
Kematian Akibat Keterlambatan Penanganan
Fajar menjelaskan, sebagian besar kematian akibat DBD terjadi karena pasien terlambat mendapatkan penanganan medis. Kondisi ini menjadi tantangan besar di lapangan, mengingat DBD sering kali menimbulkan gejala yang mirip dengan penyakit lain.
“Oleh karena itu, perlu ada deteksi dini agar kasus DBD bisa cepat ditemukan dan ditangani sehingga kematian pun bisa dicegah,” tegasnya.
Pentingnya Mengenali Gejala Sejak Awal
Untuk meminimalkan risiko, masyarakat diminta memahami gejala DBD yang umum terjadi. Menurut Fajar, gejala tersebut antara lain:
-Demam tinggi yang tidak turun meski sudah diberikan obat penurun panas
-Sakit kepala hebat
-Nyeri pada persendian
-Munculnya ruam pada kulit
-Muntah terus-menerus
-Mimisan atau perdarahan ringan lainnya
Ia menambahkan, gejala tersebut kerap disalahartikan sebagai tanda penyakit lain, sehingga banyak pasien yang datang ke fasilitas kesehatan dalam kondisi sudah parah.
Indonesia Masih Daerah Endemis
Sebagai negara beriklim tropis, Indonesia masuk kategori endemis DBD. Artinya, potensi penularan bisa terjadi sepanjang tahun di berbagai wilayah, bukan hanya pada musim hujan. Hal ini membuat kewaspadaan terhadap penyakit ini harus selalu dijaga.
“Kalau ada tanda-tanda seperti itu harap segera memastikan pemeriksaan ke sarana fasilitas pelayanan kesehatan terdekat,” pesan Fajar.
Ancaman yang Tak Bisa Dianggap Remeh
DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Meski terlihat sederhana, infeksi ini dapat berkembang menjadi kondisi berat seperti demam berdarah atau sindrom syok dengue yang berisiko fatal jika tidak segera ditangani.
Data Kemenkes menunjukkan bahwa angka kematian akibat DBD masih konsisten muncul setiap tahun, meskipun berbagai program pencegahan telah dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan, kesadaran masyarakat, dan deteksi dini menjadi kunci penting dalam menekan jumlah kasus.
Upaya Pencegahan Tetap Prioritas
Untuk menekan laju penularan, pemerintah terus mengimbau masyarakat melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) melalui metode 3M Plus, yaitu:
-Menguras tempat penampungan air secara rutin
-Menutup rapat wadah air
-Memanfaatkan atau mendaur ulang barang bekas yang dapat menampung air
Tambahan langkah “Plus” mencakup penggunaan lotion anti nyamuk, pemasangan kelambu saat tidur, dan memelihara ikan pemakan jentik di kolam atau bak air.
Peran Masyarakat Sangat Diperlukan
Selain program pemerintah, keberhasilan menekan kasus DBD sangat bergantung pada partisipasi aktif masyarakat. Edukasi tentang bahaya DBD dan tanda-tandanya perlu disosialisasikan secara berkelanjutan, baik melalui sekolah, komunitas, maupun media massa.
Dengan kesadaran kolektif, diharapkan kasus kematian dapat ditekan seminimal mungkin. Sebab, seperti yang ditekankan Fajar, sebagian besar kematian DBD sebenarnya bisa dicegah jika pasien segera mendapat penanganan yang tepat waktu.
Kesimpulannya, situasi DBD di Indonesia tahun 2025 masih memerlukan perhatian serius. Meski angka fatalitas kasus relatif rendah, jumlah korban meninggal yang mencapai ratusan orang menunjukkan bahwa ancaman penyakit ini nyata dan terus mengintai. Deteksi dini, penanganan cepat, serta pencegahan melalui PSN harus menjadi langkah prioritas, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, demi menyelamatkan lebih banyak nyawa di masa mendatang.