JAKARTA - Industri asuransi jiwa di Indonesia kini memasuki babak baru dengan diterbitkannya aturan mengenai penerapan skema co-payment dalam produk asuransi kesehatan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan pada 19 Mei 2025 lalu. Dalam aturan tersebut, OJK mewajibkan skema co-payment atau pembagian risiko atas manfaat asuransi kesehatan, baik untuk layanan rawat jalan maupun rawat inap.
Sebagai respons terhadap kebijakan terbaru ini, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) memberikan imbauan kepada seluruh perusahaan asuransi jiwa untuk segera melakukan langkah-langkah persiapan agar implementasi ketentuan tersebut berjalan dengan baik.
“Kami mengimbau kepada seluruh anggota AAJI untuk segera melakukan penyesuaian atas produk asuransi kesehatan yang dimiliki agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam SEOJK Nomor 7 Tahun 2025 ini,” tegas Budi Tampubolo.
Ketentuan Co-payment dalam Produk Asuransi Kesehatan
Dalam beleid tersebut, OJK secara rinci mengatur bahwa produk asuransi kesehatan wajib menerapkan pembagian risiko (co-payment) minimal sebesar 10% dari total pengajuan klaim. Hal ini berlaku baik untuk layanan rawat jalan maupun rawat inap.
Adapun batas maksimum pembagian risiko yang harus ditanggung oleh peserta atau pemegang polis ditetapkan sebagai berikut:
Rawat Jalan: Maksimal Rp300.000 per pengajuan klaim.
Rawat Inap: Maksimal Rp3.000.000 per pengajuan klaim.
Melalui skema ini, nasabah asuransi kesehatan diwajibkan menanggung sebagian dari biaya yang diajukan untuk klaim asuransi. OJK menilai bahwa penerapan co-payment dapat meningkatkan kesadaran peserta asuransi terhadap penggunaan layanan kesehatan secara bijak, serta mengurangi risiko terjadinya klaim berlebihan (over-utilization).
AAJI: Perusahaan Harus Lakukan Penyesuaian Produk dan Sosialisasi
Sebagai asosiasi yang menaungi industri asuransi jiwa, AAJI menegaskan bahwa perusahaan asuransi perlu segera menyesuaikan desain produk asuransi kesehatan sesuai ketentuan baru tersebut. Tidak hanya soal administrasi, tetapi juga harus diikuti dengan edukasi yang menyeluruh kepada pemegang polis agar mereka memahami konsep co-payment dan manfaatnya.
“Kami mendorong perusahaan asuransi jiwa anggota AAJI untuk tidak hanya fokus pada kepatuhan regulasi, tetapi juga harus aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai skema co-payment ini. Edukasi yang tepat akan membantu membangun kepercayaan nasabah dan meningkatkan literasi asuransi di Indonesia,” ujar Budi.
AAJI juga meminta perusahaan asuransi memastikan sistem operasional, seperti sistem klaim dan teknologi pendukung, siap untuk mendukung implementasi ketentuan ini. Hal ini penting agar layanan kepada nasabah tetap optimal, terutama saat pengajuan klaim dilakukan.
Mengapa Co-payment Diterapkan?
Langkah OJK menerapkan skema co-payment bukan tanpa alasan. Berdasarkan evaluasi regulator, selama ini pola klaim asuransi kesehatan menunjukkan adanya potensi ketidakseimbangan antara manfaat yang diterima peserta dengan premi yang dibayarkan. Dengan co-payment, diharapkan ada upaya bersama antara peserta dan perusahaan asuransi dalam mengelola risiko pembiayaan kesehatan.
Skema co-payment juga diyakini bisa mendorong peserta untuk lebih selektif dalam memilih layanan kesehatan yang benar-benar diperlukan, sehingga mencegah potensi penyalahgunaan fasilitas asuransi (moral hazard).
“Skema ini bertujuan menciptakan ekosistem yang lebih sehat dan berkelanjutan bagi industri asuransi kesehatan. Pembagian risiko dengan peserta merupakan salah satu langkah untuk menjaga kesehatan keuangan perusahaan asuransi jiwa ke depannya,” imbuh Budi.
Tantangan Implementasi dan Perlunya Edukasi
Meski penerapan co-payment memiliki tujuan baik, tantangan dalam implementasi tetap ada. Salah satunya adalah tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia yang masih tergolong rendah. Sebagian besar masyarakat mungkin belum sepenuhnya memahami konsep co-payment atau justru menganggap kebijakan tersebut sebagai beban tambahan.
Oleh sebab itu, AAJI menilai pentingnya kolaborasi antara perusahaan asuransi, regulator, dan lembaga terkait lainnya untuk melakukan edukasi yang berkelanjutan. Dengan demikian, masyarakat akan lebih memahami manfaat jangka panjang dari penerapan skema ini.
“Kami berharap edukasi yang dilakukan dapat menjawab kekhawatiran masyarakat. Dengan pemahaman yang baik, co-payment justru akan memberikan manfaat positif baik bagi peserta asuransi maupun bagi industri secara keseluruhan,” jelas Budi lebih lanjut.
Langkah-Langkah Persiapan Perusahaan Asuransi Jiwa
Menindaklanjuti ketentuan dari OJK tersebut, AAJI mengimbau perusahaan asuransi jiwa untuk melakukan langkah-langkah berikut:
Melakukan review menyeluruh terhadap seluruh portofolio produk asuransi kesehatan.
Menyesuaikan kebijakan underwriting dan ketentuan polis terkait skema co-payment.
Memastikan sistem IT dan proses klaim telah mendukung penerapan co-payment.
Melakukan sosialisasi secara intensif kepada nasabah, tenaga pemasar, serta mitra rumah sakit rekanan.
Berkoordinasi dengan OJK terkait laporan implementasi dan hal-hal teknis lainnya.
AAJI optimistis bahwa dengan persiapan yang matang dan komunikasi yang baik, penerapan co-payment akan berjalan lancar dan memberikan dampak positif bagi seluruh pemangku kepentingan.
Kapan Ketentuan Ini Berlaku?
Meski SEOJK Nomor 7 Tahun 2025 telah diterbitkan pada 19 Mei 2025, OJK memberikan waktu transisi kepada perusahaan asuransi untuk melakukan penyesuaian atas produk-produk yang telah beredar di pasar. Batas akhir implementasi secara penuh akan diumumkan lebih lanjut oleh OJK dalam waktu dekat.
Budi menegaskan bahwa AAJI akan terus berkoordinasi dengan OJK guna memastikan seluruh anggota asosiasi mendapatkan informasi dan arahan yang diperlukan selama masa transisi tersebut.
“Kami akan terus melakukan pendampingan kepada anggota agar seluruh tahapan implementasi berjalan sesuai arahan regulator, tanpa mengganggu pelayanan kepada masyarakat,” tutup Budi.