JAKARTA — Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi, penggunaan gadget telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk di kalangan anak-anak. Fenomena ini memicu perhatian serius dari berbagai pihak, terutama para pendidik, orang tua, dan akademisi. Dua penelitian terkini, yakni “Pengaruh Penggunaan Gadget terhadap Kecerdasan Emosional dan Akhlak Peserta Didik” oleh Azhari dkk. (2022), serta
“Dampak Penggunaan Gadget terhadap Perkembangan Kognitif dan Sosial Anak” oleh Jati dkk. (2025), mengungkapkan dampak besar yang ditimbulkan oleh gadget terhadap perkembangan anak, baik dalam aspek positif maupun negatif.
Gadget: Teknologi yang Memberi Manfaat Jika Digunakan Bijak
Studi Azhari dkk. (2022) menyoroti bahwa gadget memiliki potensi besar dalam meningkatkan efisiensi pembelajaran. Akses cepat terhadap informasi, kemampuan untuk berkomunikasi langsung dengan guru, serta ketersediaan berbagai aplikasi edukatif membuat gadget menjadi alat bantu belajar yang efektif. Dalam masa pandemi Covid-19, aplikasi seperti Zoom dan Google Classroom telah menjadi penopang utama proses belajar-mengajar daring.
“Gadget bukan hanya alat hiburan, tapi juga bisa menjadi sarana untuk meningkatkan kecerdasan emosional, terutama bila digunakan dengan konten edukatif yang mendorong empati dan pemahaman sosial,” ujar Azhari dalam penelitiannya.
Meski demikian, Azhari juga menegaskan bahwa manfaat gadget sangat tergantung pada cara penggunaannya. Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa pengaruh positif gadget terhadap kecerdasan emosional dan akhlak peserta didik tidak selalu signifikan secara statistik.
“Artinya, tanpa kontrol yang tepat dari orang tua dan guru, gadget bisa berbalik menjadi ancaman bagi perkembangan karakter anak,” jelasnya.
Ancaman Nyata: Gangguan Sosial dan Penurunan Daya Konsentrasi
Sementara itu, penelitian Jati dkk. (2025) lebih menyoroti sisi gelap dari penggunaan gadget yang berlebihan. Berdasarkan hasil temuan mereka, penggunaan gadget secara intensif dan tidak terkontrol berpotensi menimbulkan penurunan kemampuan kognitif, gangguan tidur, hingga kesulitan anak dalam membangun relasi sosial.
“Anak-anak yang menghabiskan lebih dari tiga jam per hari dengan gadget menunjukkan kecenderungan mengalami penurunan kemampuan fokus dan komunikasi langsung,” tulis Jati dalam laporan penelitiannya.
Data dari Yuliana (2020) memperkuat kekhawatiran ini, dengan mencatat bahwa lebih dari 60% anak-anak di Indonesia menggunakan gadget lebih dari 3 jam sehari. Kebiasaan ini berpotensi menghambat pengembangan keterampilan sosial dasar, seperti membaca ekspresi wajah dan komunikasi lisan.
“Paparan cahaya biru dari layar gadget juga mengganggu pola tidur anak, yang secara tidak langsung berimbas pada kemampuan belajar, daya ingat, dan emosi mereka,” imbuh Jati.
Peran Strategis Orang Tua dan Pendidik dalam Mengelola Penggunaan Gadget
Dalam menghadapi tantangan ini, peran orang tua dan pendidik menjadi kunci utama. Pengawasan dan pembatasan penggunaan gadget harus dilakukan dengan bijak dan konsisten. Beberapa langkah strategis yang disarankan para pakar antara lain:
-Menetapkan Batas Waktu Penggunaan
Anak-anak idealnya tidak menggunakan gadget lebih dari 1-2 jam per hari, kecuali untuk kebutuhan pembelajaran.
-Seleksi Konten Edukatif
Orang tua dan guru harus memastikan bahwa aplikasi atau konten yang diakses mendukung perkembangan anak, seperti permainan edukatif, aplikasi belajar bahasa, atau video interaktif yang bersifat membangun.
-Mendorong Interaksi Sosial Langsung
Anak perlu didorong untuk bermain bersama teman-teman, berdiskusi, atau melakukan kegiatan fisik di luar ruangan.
-Memberikan Teladan Positif
Penggunaan gadget oleh orang tua juga harus dikendalikan. Memberikan contoh penggunaan yang sehat akan membantu anak memahami batasan secara alami.
“Anak-anak lebih banyak belajar dari contoh daripada dari perintah. Ketika orang tua juga sibuk dengan gadget, anak-anak pun meniru pola tersebut,” ungkap Azhari dalam sesi wawancara terpisah.
Teknologi: Bukan Musuh, Tapi Solusi yang Harus Dikelola
Sebagai pakar Rekayasa Perangkat Lunak (RPL), penulis juga menekankan bahwa teknologi seharusnya diposisikan sebagai alat bantu, bukan ancaman. Para pengembang aplikasi dapat memainkan peran penting dengan merancang program yang tidak hanya mendidik, tetapi juga dilengkapi fitur pembatasan waktu dan parental control.
“Inovasi seperti screen time management, parsing data penggunaan, dan notifikasi jeda layar bisa membantu orang tua mengelola durasi penggunaan gadget anak-anak mereka,” ujar penulis.
Dalam konteks ini, perusahaan teknologi juga memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk menciptakan ekosistem digital yang ramah anak.
Pendidikan Digital dan Literasi Teknologi
Langkah lainnya yang sangat penting adalah memperkuat literasi digital bagi anak-anak sejak dini. Mereka harus diajarkan cara menggunakan teknologi secara bijak, etis, dan bertanggung jawab. Materi edukasi tentang bahaya kecanduan digital, etika komunikasi daring, hingga keamanan data pribadi harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan formal dan nonformal.
“Kita tidak bisa melarang anak-anak dari teknologi. Tapi kita bisa mendidik mereka untuk menggunakannya secara sehat dan produktif,” ujar Jati.
Kolaborasi Menuju Generasi Digital yang Sehat
Gadget, seperti halnya pisau bermata dua, dapat memberikan manfaat luar biasa bila digunakan dengan bijak, namun juga bisa menjadi sumber masalah serius bila disalahgunakan. Peran keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam membentuk budaya penggunaan teknologi yang sehat tidak bisa diabaikan.
Penggunaan gadget oleh anak-anak tidak bisa dicegah sepenuhnya di era digital saat ini. Namun, pengawasan, bimbingan, dan pendidikan yang tepat dapat meminimalisasi dampak negatif dan memaksimalkan manfaatnya.
“Gadget bisa menjadi sahabat anak-anak dalam belajar dan bermain, asalkan kita semua—orang tua, guru, dan pengembang aplikasi—bersatu untuk membimbing mereka ke arah yang benar,” tutup Azhari.
Dengan sinergi antara semua pihak, kita dapat menciptakan lingkungan digital yang tidak hanya modern dan canggih, tetapi juga aman dan mendidik bagi anak-anak—generasi penerus bangsa.