JAKARTA — Pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) di wilayah timur Indonesia. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia secara tegas memerintahkan PT PLN (Persero) untuk segera membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Provinsi Maluku dengan kapasitas total mencapai 40 megawatt (MW).
Instruksi tersebut disampaikan Bahlil saat melakukan kunjungan kerja ke Kota Ambon, Maluku, pada Sabtu, 5 April 2025. Dalam kesempatan itu, ia menegaskan pentingnya pembangunan PLTP guna mengurangi ketergantungan wilayah Maluku terhadap energi fosil, khususnya solar dan batu bara.
“Saya sudah masukkan dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) PLN supaya apa? Tidak lagi tergantung pada solar. Tidak lagi tergantung pada batu bara,” kata Bahlil dalam keterangan pers yang diterima media.
Menurutnya, potensi panas bumi di Provinsi Maluku sangat besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan kajian teknis, wilayah ini memiliki potensi panas bumi sebesar 40 MW yang tersebar di beberapa titik strategis, seperti Pulau Buru dan Pulau Ambon.
Rincian Proyek Panas Bumi di Maluku
Dua proyek utama yang dimaksud dalam rencana tersebut adalah PLTP Wapsalit 20 MW yang terletak di Pulau Buru, serta PLTP Tulehu 2x10 MW di Pulau Ambon. Proyek-proyek ini sudah masuk dalam draf RUPTL PLN 2025–2034 dan akan dilaksanakan secara bertahap.
PLTP Wapsalit saat ini berada pada tahap eksplorasi yang dikerjakan oleh pengembang swasta. Target operasi secara komersial atau Commercial Operation Date (COD) untuk proyek ini ditetapkan pada tahun 2028.
Sementara itu, PLTP Tulehu yang memiliki kapasitas 2x10 MW sedang dalam tahap pengadaan oleh PLN. Jika tidak ada kendala, proyek ini ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2031.
Tak hanya itu, potensi panas bumi lainnya juga telah ditemukan di wilayah Banda Baru, Pulau Seram. Berdasarkan survei Badan Geologi, wilayah ini memungkinkan dikembangkan menjadi PLTP berkapasitas 25 MW di masa mendatang.
Ketergantungan Tinggi Terhadap Energi Fosil
Saat ini, sistem kelistrikan di Provinsi Maluku masih sangat bergantung pada sumber energi fosil, terutama pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). Berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2024, total kapasitas pembangkit di wilayah Maluku mencapai 409 MW, di mana 406 MW atau sekitar 99 persen berasal dari sumber fosil.
Rinciannya, PLTD menyumbang 249 MW atau sekitar 61 persen dari total kapasitas kelistrikan Maluku. Sementara pembangkit berbasis gas dan uap menyumbang 157 MW atau 38 persen.
Kontribusi energi baru terbarukan (EBT) masih sangat kecil, hanya sekitar 3 MW atau kurang dari 1 persen dari total kapasitas. Jumlah ini berasal dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebesar 3 MW dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro sebesar 0,1 MW.
Kondisi ini menjadi perhatian serius pemerintah. Ketergantungan terhadap energi fosil tidak hanya berdampak pada biaya operasional yang tinggi, tetapi juga berisiko tinggi terhadap ketahanan energi daerah yang rentan terhadap fluktuasi harga bahan bakar.
Upaya Transisi Energi di Wilayah Timur
Instruksi Menteri ESDM kepada PLN ini menjadi langkah nyata dalam percepatan transisi energi di Indonesia bagian timur. Pemerintah menilai bahwa pembangunan PLTP di Maluku akan menjadi titik awal penguatan pemanfaatan energi terbarukan, serta menjadi solusi jangka panjang untuk penyediaan listrik yang bersih dan berkelanjutan di wilayah kepulauan.
“Ini bukan hanya soal energi, tapi juga soal kemandirian dan masa depan Maluku yang lebih ramah lingkungan dan efisien secara ekonomi,” ujar Bahlil.
Ia menambahkan, proyek PLTP ini diharapkan dapat membuka peluang investasi baru, menyerap tenaga kerja lokal, serta meningkatkan pendapatan daerah dari sektor energi.
Selain itu, pengembangan PLTP dinilai akan meningkatkan keandalan sistem kelistrikan Maluku yang selama ini kerap mengalami kendala akibat pasokan bahan bakar yang tidak stabil, terutama di wilayah-wilayah terpencil dan kepulauan.
PLN Didorong Siapkan Infrastruktur dan Mitra Strategis
PLN diminta untuk tidak hanya fokus pada sisi pembangunan fisik PLTP, tetapi juga mempersiapkan dukungan infrastruktur jaringan distribusi dan transmisi. Kolaborasi dengan investor dan pengembang panas bumi juga dinilai penting untuk memastikan keberhasilan proyek dalam jangka panjang.
Menurut Kementerian ESDM, pembangunan pembangkit panas bumi membutuhkan waktu, perencanaan matang, dan kepastian hukum, sehingga penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk bersinergi dan menjaga komitmen proyek hingga tahap akhir.
PLN sendiri menyambut baik arahan tersebut dan menyatakan kesiapannya untuk mempercepat proses pengadaan dan studi kelayakan proyek-proyek panas bumi di Maluku.
Komitmen Terhadap Pengurangan Emisi Karbon
Langkah ini juga sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mencapai target pengurangan emisi karbon dalam kerangka Paris Agreement. Transisi dari energi fosil menuju EBT, termasuk panas bumi, menjadi salah satu kunci utama mencapai target net zero emission pada 2060.
Sebagai informasi, Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia, yakni mencapai lebih dari 23 gigawatt (GW). Namun, baru sekitar 2,3 GW atau 10 persen dari total potensi tersebut yang telah dimanfaatkan hingga kini.
Pembangunan PLTP di Maluku menjadi bagian dari strategi nasional memperluas pemanfaatan panas bumi di wilayah-wilayah yang belum terjangkau energi bersih secara maksimal.
“Kita harus mulai dari sekarang. Kalau tidak dimulai, transisi energi hanya akan jadi wacana di atas kertas,” pungkas Bahlil.