Nikel

Prospek Cerah Saham Nikel 2025: Rekomendasi dan Tantangan yang Harus Diwaspadai Investor

Prospek Cerah Saham Nikel 2025: Rekomendasi dan Tantangan yang Harus Diwaspadai Investor
Prospek Cerah Saham Nikel 2025: Rekomendasi dan Tantangan yang Harus Diwaspadai Investor

JAKARTA  – Industri nikel nasional memasuki tahun 2025 dengan tantangan besar, terutama akibat tekanan harga global yang masih berfluktuasi. Meski demikian, sejumlah emiten mencatatkan kinerja impresif pada 2024 dan tetap menunjukkan prospek menjanjikan, khususnya PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel yang menjadi sorotan para analis.

Sepanjang 2024, emiten-emiten nikel mengalami kinerja yang beragam. Sebagian berhasil mencatat pertumbuhan signifikan, sementara lainnya harus menghadapi penurunan pendapatan dan laba akibat tekanan pasar dan kondisi makroekonomi global.

Kinerja Keuangan Emiten Nikel di 2024

NCKL melaporkan pendapatan dari kontrak dengan pelanggan sebesar Rp 26,97 triliun, meningkat 13,03% secara tahunan (year-on-year/yoy). Laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk juga naik 13,52% yoy menjadi Rp 6,38 triliun.

Tidak hanya NCKL, PT Pam Mineral Tbk (NICL) juga membukukan pertumbuhan signifikan. Penjualan NICL tercatat naik 26,32% yoy menjadi Rp 1,44 triliun, sementara laba bersihnya melonjak drastis sebesar 1.081,43% yoy menjadi Rp 318,04 miliar.

Namun, kondisi sebaliknya terjadi pada PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang harus menelan penurunan pendapatan sebesar 22,87% yoy menjadi US$ 950,38 juta. Laba bersih INCO juga turun tajam 78,94% yoy menjadi US$ 57,76 juta.

PT Ifishdeco Tbk (IFSH) juga mengalami tekanan dengan koreksi penjualan neto sebesar 32,13% yoy menjadi Rp 972,71 miliar, dan laba bersihnya terpangkas 60,39% yoy menjadi Rp 83,67 miliar.

Faktor Penyebab: Harga Nikel Global dan Kelebihan Pasokan

Menurut Chief Executive Officer Edvisor Profina Visindo, Praska Putrantyo, fluktuasi harga nikel global menjadi tantangan utama sektor ini. Ia menyatakan bahwa pasar saat ini mengalami kelebihan pasokan yang menyebabkan tekanan harga jual rata-rata komoditas nikel.

“Pasar nikel saat ini sedang mengalami oversupply, yang menekan harga jual dan margin emiten,” ujar Praska. Ia menambahkan bahwa kondisi ini menyulitkan banyak emiten menjaga profitabilitas mereka.

Berdasarkan data Trading Economics, harga nikel berada di level US$ 14.640 per ton. Angka ini mencerminkan penurunan 7,98% dalam sebulan terakhir dan anjlok 17% dalam setahun terakhir. Padahal, harga nikel sempat menyentuh level tertinggi tahun ini di US$ 16.652 per ton.

Tekanan harga nikel juga diperparah oleh kondisi ekonomi global yang tidak stabil serta kebijakan tarif impor dari Pemerintah Amerika Serikat yang membuat pergerakan harga menjadi semakin tidak menentu.

Prospek Industri dan Rekomendasi Saham

Kendati demikian, pelaku pasar masih melihat potensi pertumbuhan dari sektor ini, khususnya seiring dengan kebijakan hilirisasi dan pengembangan industri kendaraan listrik di Indonesia.

“Hilirisasi nikel untuk pengembangan industri kendaraan listrik diharapkan dapat menjadi sentimen positif untuk mendorong permintaan nikel,” terang Praska.

Ia juga menyebutkan bahwa efisiensi operasional menjadi kunci bagi emiten untuk menjaga margin keuntungan. Dalam hal ini, NCKL dinilai sebagai salah satu emiten yang memiliki efisiensi operasional yang baik.

Berdasarkan valuasi saat ini, Praska merekomendasikan beli saham NCKL dengan target harga Rp 850 per saham, menyebut Price Earning Ratio (PER) NCKL yang masih rendah, yakni di angka 6,82 kali.

Rekomendasi serupa disampaikan oleh analis Indo Premier Sekuritas, Ryan Winipta dan Reggie Parengkuan. Keduanya menyatakan bahwa NCKL layak dibeli dengan target harga Rp 1.100 per saham.

Mereka mencatat bahwa meski laba bersih NCKL sebesar Rp 6,38 triliun hanya mencapai 94% dari proyeksi Indo Premier, peningkatan ini tetap diapresiasi, terutama karena adanya kenaikan signifikan dalam pengembangan masyarakat dari Rp 2,61 miliar pada 2023 menjadi Rp 215,03 miliar pada 2024.

“Risiko yang merugikan bagi NCKL mencakup permintaan feronikel yang lebih rendah akibat situasi ekonomi yang lemah,” tulis Ryan dan Reggie dalam risetnya.

Keduanya memproyeksikan bahwa NCKL berpotensi mencetak pendapatan sebesar Rp 28,19 triliun dengan laba bersih mencapai Rp 7,43 triliun pada 2025, menegaskan optimisme terhadap performa jangka panjang emiten ini.

Tantangan Regulasi Tetap Diwaspadai

Selain tantangan pasar global, sektor pertambangan nikel juga perlu mencermati perkembangan regulasi domestik. Salah satu isu yang tengah berkembang adalah rencana penyesuaian tarif royalti minerba, yang berpotensi menekan margin profitabilitas emiten.

Regulasi ini diyakini akan berdampak signifikan pada struktur biaya perusahaan tambang, termasuk mereka yang telah berinvestasi dalam program hilirisasi.

Dengan kinerja kuat dan efisiensi operasional yang baik, NCKL menempati posisi strategis sebagai emiten unggulan di sektor nikel pada 2025. Meski dibayangi oleh fluktuasi harga dan tantangan regulasi, prospek jangka panjang dari pengembangan hilirisasi dan kendaraan listrik diyakini mampu memberikan katalis positif untuk industri ini. Para investor disarankan untuk tetap selektif dalam memilih saham, dengan memperhatikan kinerja fundamental dan potensi pertumbuhan masing-masing emiten.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index