Energi

Indonesia Genjot Energi Hijau, Tapi Masih Dihadang Masalah Limbah Baterai dan Panel Surya

Indonesia Genjot Energi Hijau, Tapi Masih Dihadang Masalah Limbah Baterai dan Panel Surya
Indonesia Genjot Energi Hijau, Tapi Masih Dihadang Masalah Limbah Baterai dan Panel Surya

JAKARTA - Upaya Indonesia menuju Net Zero Emission (NZE) pada 2060 terus dikebut melalui berbagai inisiatif energi hijau seperti percepatan penggunaan kendaraan listrik (EV) dan pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Namun, di balik ambisi tersebut, muncul tantangan serius dalam pengelolaan limbah dari teknologi ramah lingkungan itu sendiri, terutama baterai kendaraan listrik dan panel surya yang berpotensi menjadi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di masa depan.

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya dalam transisi menuju energi bersih. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), yang kemudian diperbarui dengan Perpres No. 79 Tahun 2023, pemerintah mendorong adopsi kendaraan listrik di dalam negeri. Upaya ini membuahkan hasil positif. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan bahwa penjualan mobil listrik melonjak hingga 684 persen pada Januari 2024 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, mencapai 2.335 unit.

Tak hanya kendaraan listrik, sektor energi surya juga menjadi andalan dalam roadmap transisi energi. Berdasarkan proyeksi pemerintah, energi surya diprediksi akan menyumbang 61 persen dari total kapasitas pembangkit listrik nasional pada 2060. Sayangnya, kapasitas produksi panel surya di dalam negeri masih jauh dari harapan. Saat ini, kapasitas produksi hanya sebesar 1.600 megawatt-peak (MWp) per tahun, sedangkan untuk mencapai NZE dibutuhkan kapasitas sebesar 3.700 gigawatt (GW).

Namun di balik optimisme tersebut, muncul kekhawatiran serius mengenai dampak lingkungan dari teknologi hijau yang sedang dikembangkan, khususnya dari sisi pengelolaan limbah. Baterai kendaraan listrik, misalnya, memiliki masa pakai antara 10 hingga 15 tahun. Setelah masa pakainya habis, baterai ini berpotensi menjadi limbah beracun jika tidak didaur ulang dengan benar. Limbah tersebut mengandung logam-logam berharga seperti kobalt, aluminium, mangan, dan lithium, yang jika tidak dikelola dengan tepat bisa mencemari lingkungan.

Sayangnya, infrastruktur daur ulang baterai di Indonesia saat ini masih sangat terbatas. Pemerintah telah menunjuk PT Nasional Hijau Lestari (NHL) sebagai perusahaan pengelola limbah baterai dalam peta jalan percepatan kendaraan listrik. Selain itu, regulasi mengenai pengelolaan limbah telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang menyebutkan sanksi administratif bagi pihak-pihak yang lalai dalam menangani limbah baterai.

Salah satu produsen baterai kendaraan listrik di Indonesia, PT International Chemical Industry (Intercallin) dengan merek ABC Lithium, menegaskan bahwa mereka sangat memperhatikan aspek lingkungan dalam seluruh proses produksi. “Keamanan produksi baterai dan aspek lingkungan menjadi amat krusial karena pengelolaan limbah produk merupakan tanggung jawab pemanufaktur,” ujar Hermawan Wijaya, Marketing Director ABC Lithium.

Perusahaan ini menggunakan teknologi lithium iron phosphate (LFP), yang diklaim lebih aman dan ramah lingkungan. Hermawan juga menambahkan bahwa konsumsi baterai lithium sangat beragam, tidak hanya untuk kendaraan listrik, tetapi juga untuk sistem standby power seperti di sektor telekomunikasi, UPS, pusat data (data center), hingga peralatan medis bergerak. “Kami juga telah menerapkan sistem pengelolaan limbah yang ketat, termasuk pengolahan ulang limbah cair agar tidak mencemari lingkungan,” tambahnya.

Persoalan limbah tak berhenti pada baterai. Panel surya pun memiliki potensi besar menjadi limbah berbahaya jika tidak dikelola secara tepat. Managing Director Xurya Daya Indonesia, Eka Himawan, menyebut bahwa pemanfaatan PLTS Atap di Indonesia terus berkembang, dan pihaknya berkomitmen menjaga kualitas dan keamanan. “Kami memastikan adanya tenaga kerja yang mumpuni. Kami juga punya sekolah dan lembaga sertifikasi kompetensi yang diakreditasi pemerintah,” ungkapnya. Xurya saat ini telah membangun lebih dari 170 proyek PLTS Atap di berbagai lokasi dan menggunakan panel surya dari produsen Tier 1 dengan garansi performa hingga 25 tahun.

Namun, ia tidak menampik bahwa limbah dari panel surya tetap menjadi perhatian utama. Dalam jangka panjang, panel surya yang telah mencapai akhir masa pakainya mengandung bahan berbahaya seperti timah, timbal, silikon, dan logam berat lainnya. Anthony dari SolaRUV, perusahaan lain yang bergerak di sektor energi surya, menegaskan pentingnya pengelolaan limbah B3 dari panel surya. “SDM kami harus tahu bahwa ini adalah B3. Bagaimana nilai ekonomisnya, dan jangan dikilo,” ujarnya.

SolaRUV mengaku belum memiliki kapasitas untuk membangun fasilitas pengelolaan limbah sendiri, sehingga menggandeng pihak ketiga dalam proses daur ulang. “Saat ini, kami menggandeng pihak ketiga untuk pengelolaan limbah karena kami belum merasa memiliki densitas penggunaan yang cukup untuk menggunakan jasa sendiri atau membangun sendiri,” kata Anthony.

Pedoman Pengelolaan Limbah B3 dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjadi acuan dalam penanganan limbah ini. Modul surya berbasis silikon kristalin misalnya, terdiri dari kaca (75 persen), polimer (10 persen), aluminium (8 persen), silikon (5 persen), tembaga (1 persen), dan logam berat lainnya seperti perak dan timah. Bila tidak dikelola dengan benar, logam-logam ini dapat larut ke dalam tanah dan air, memicu pencemaran lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia.

Sementara itu, pengelolaan limbah untuk jenis modul thin film memerlukan perhatian lebih karena mengandung logam berat seperti cadmium telluride, selenium, indium, dan gallium yang juga sangat toksik.

Di sisi lain, potensi ekonomi dari industri daur ulang baterai masih terbuka lebar. Pada 2023, Tianneng Group dari China mulai menjajaki peluang pendirian fasilitas daur ulang baterai kendaraan listrik di Indonesia. “Rencana ini akan mendorong pertukaran ekonomi dan sosial antara Cina dan Indonesia,” ujar Jack Yang, Wakil Presiden Tianneng Group, menunjukkan optimisme terhadap masa depan industri ini.

Salah satu cara untuk memperpanjang umur panel surya dan mengurangi limbah adalah melalui pemantauan dan perawatan berkala. Eka Himawan dari Xurya menyebut pihaknya telah menggunakan teknologi Internet of Things (IoT) untuk melakukan pemantauan performa panel secara real-time. “Kami berharap dalam beberapa tahun ke depan sudah ada solusi terbaik untuk mengelola dan mengolah limbah panel surya,” tutup Eka.

Melihat tantangan ini, jelas bahwa Indonesia tidak hanya harus fokus pada akselerasi transisi energi hijau, tetapi juga membangun ekosistem pengelolaan limbah yang komprehensif dan berkelanjutan. Regulasi, teknologi, kolaborasi industri, dan kesadaran masyarakat akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa langkah menuju energi bersih tidak menciptakan masalah baru bagi lingkungan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index