JAKARTA - Kebijakan tarif resiprokal sebesar 32 persen yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat terhadap produk otomotif impor memunculkan kekhawatiran besar di kalangan pelaku industri otomotif Indonesia. Pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menyebut kebijakan ini akan berdampak langsung terhadap daya saing produk otomotif Tanah Air, terutama bagi komponen kendaraan yang selama ini diekspor ke pasar Amerika Serikat.
Menurut Yannes, tarif tersebut akan membuat harga produk dan suku cadang otomotif dari Indonesia menjadi lebih mahal. Dampaknya, harga jual produk di pasar Amerika Serikat meningkat dan secara langsung menurunkan daya saing. Hal ini terjadi karena banyak perusahaan otomotif global yang melakukan joint venture dan mengandalkan pasokan komponen dari Indonesia untuk produksi mereka di AS.
“Hal ini tentunya berpotensi mengurangi daya saing produk otomotif dan parts di pasar AS seperti mesin, transmisi, dan komponen elektronik yang diimpor pelaku usaha AS dari Indonesia pada kuartal selanjutnya,” ujar Yannes.
Meskipun demikian, Yannes menilai Indonesia masih memiliki peluang kompetitif dibanding negara ASEAN lain. Ia mengungkapkan bahwa negara seperti Thailand dikenakan tarif lebih tinggi sebesar 37 persen dan Vietnam bahkan mencapai 46 persen. Dengan begitu, Indonesia yang ‘hanya’ terkena tarif 32 persen bisa memiliki keunggulan dalam bersaing di pasar ekspor, khususnya otomotif.
“Jika dibandingkan dengan Thailand dan Vietnam, maka Indonesia relatif lebih ‘diuntungkan’. Ini bisa menjadi peluang bagi pelaku usaha otomotif nasional untuk menggenjot kualitas dan efisiensi sehingga tetap bisa bersaing di pasar internasional,” katanya menambahkan.
Namun, keunggulan tarif tersebut tidak serta merta menjamin keberlanjutan ekspor otomotif Indonesia ke AS. Yannes mengingatkan bahwa risiko jangka menengah tetap besar, terutama jika permintaan dari AS menurun akibat lonjakan harga akibat tarif tersebut. Ia mengatakan, apabila volume ekspor berkurang, bukan tidak mungkin dampaknya akan terasa hingga ke sektor produksi dalam negeri, termasuk pengurangan tenaga kerja.
“Sangat mungkin dalam jangka menengah akan terjadi pengurangan ekspor komponen otomotif ke AS akibat tarif impor 32 persen tersebut. Jika permintaan AS turun akibat harga lebih mahal, ekspor Indonesia ke depannya berpotensi tetap merugi dan ini akan mempengaruhi produksi serta berpotensi mengurangi tenaga kerja,” ungkapnya.
Berdasarkan data yang dihimpun, selama periode Januari hingga Desember 2024, produk kendaraan dan aksesori menempati posisi ke-14 dari daftar komoditas Indonesia yang paling banyak diekspor ke Amerika Serikat. Nilai ekspornya tercatat mencapai 254,8 juta dolar AS. Hal ini menunjukkan bahwa sektor otomotif menyumbang kontribusi yang signifikan dalam hubungan dagang Indonesia-AS.
Ancaman tarif baru ini tentu menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan pelaku industri otomotif nasional. Strategi jangka panjang perlu dipersiapkan untuk menjaga stabilitas ekspor dan mempertahankan lapangan pekerjaan. Salah satu yang ditekankan Yannes adalah pentingnya membangun ketahanan industri otomotif di dalam negeri melalui kolaborasi strategis dengan mitra teknologi global.
Ia mendorong Indonesia untuk kembali menghidupkan gagasan mobil nasional dengan menggandeng perusahaan manufaktur besar dunia. Yannes percaya bahwa kemitraan seperti ini dapat digunakan untuk mendapatkan transfer teknologi dan memperkuat rantai pasok nasional tanpa harus kehilangan identitas lokal.
“Pendekatan ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan desain, penguasaan komponen kunci sambil tetap membangun identitas lokal Indonesia,” katanya.
Selain itu, penguatan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga harus menjadi prioritas utama. Target minimal TKDN sebesar 70-80 persen untuk semua jenis kendaraan, termasuk mobil listrik, dinilai sebagai langkah strategis dalam menghadapi tantangan global. Pemerintah juga disarankan memberikan insentif fiskal dan kemudahan investasi bagi perusahaan yang berkomitmen mengembangkan dan memproduksi komponen utama seperti baterai, motor listrik, serta bodi kendaraan di dalam negeri.
Dalam konteks pasar mobil listrik, Yannes juga menyoroti dominasi merek-merek asal Tiongkok di Indonesia. Ia mengatakan bahwa peluang pertumbuhan kendaraan listrik nasional sangat besar jika ditunjang oleh kebijakan insentif dan percepatan pembangunan infrastruktur pendukung seperti stasiun pengisian daya.
Ia juga menyebutkan bahwa kehadiran industri baterai lokal dengan memanfaatkan cadangan nikel yang besar di Indonesia bisa menjadi game changer bagi industri otomotif nasional. Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, yang menjadi bahan utama dalam pembuatan baterai mobil listrik.
“Pemanfaatan sumber daya alam seperti nikel harus diarahkan untuk memperkuat industri otomotif nasional. Jika kita bisa membangun rantai pasok baterai dan kendaraan listrik dari hulu ke hilir, maka ketahanan industri kita terhadap tekanan global akan jauh lebih baik,” ujarnya.
Dengan tantangan besar di depan mata, Yannes menekankan bahwa Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada pasar ekspor tradisional seperti AS. Diversifikasi pasar, peningkatan kualitas produk, dan transformasi industri otomotif menuju kendaraan ramah lingkungan harus segera dijalankan.
Langkah ini dinilai sangat penting agar Indonesia tetap mampu mempertahankan peran pentingnya dalam peta industri otomotif global, meskipun situasi geopolitik dan ekonomi internasional berubah dengan cepat.