Asuransi

Tingginya Premi, Asuransi Kredit Fintech Masih Sepi Peminat

Tingginya Premi, Asuransi Kredit Fintech Masih Sepi Peminat
Tingginya Premi, Asuransi Kredit Fintech Masih Sepi Peminat

JAKARTA  Asuransi kredit yang ditawarkan oleh perusahaan financial technology (fintech) masih menghadapi tantangan besar dalam menarik minat pengguna. Salah satu faktor utama yang menjadi penghambat adalah tingginya premi yang dinilai memberatkan konsumen.

Seiring dengan meningkatnya popularitas layanan pinjaman online (pinjol) dan pembiayaan digital, fintech telah mencoba menawarkan asuransi kredit sebagai solusi perlindungan bagi nasabah. Namun, meskipun produk ini memiliki manfaat dalam mengurangi risiko gagal bayar, kenyataannya masih sedikit pengguna yang tertarik untuk mengadopsinya.

Tingginya Premi Jadi Kendala Utama

Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai penyedia layanan keuangan digital, biaya premi asuransi kredit fintech sering kali lebih tinggi dibandingkan dengan produk serupa dari perbankan konvensional. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk risiko kredit yang lebih besar dan keterbatasan data historis mengenai kreditur fintech.

Seorang pengamat keuangan digital, Adrian Putra, menilai bahwa masalah utama dari rendahnya minat masyarakat terhadap asuransi kredit fintech adalah perbandingan antara manfaat yang diberikan dan biaya yang harus dibayarkan.

"Banyak nasabah fintech merasa bahwa premi asuransi kredit terlalu mahal dibandingkan dengan perlindungan yang diberikan. Mereka lebih memilih untuk mengambil pinjaman tanpa asuransi daripada harus membayar biaya tambahan," ujar Adrian.

Selain itu, ia menambahkan bahwa rendahnya literasi keuangan juga berkontribusi pada minimnya penggunaan asuransi kredit di sektor fintech.

"Sebagian besar pengguna fintech adalah masyarakat yang membutuhkan dana cepat. Mereka cenderung tidak terlalu mempertimbangkan risiko gagal bayar dan lebih fokus pada jumlah pinjaman serta tenor yang ditawarkan," jelasnya.

Perbedaan dengan Asuransi Kredit di Perbankan

Jika dibandingkan dengan asuransi kredit yang ditawarkan oleh perbankan, asuransi kredit fintech memiliki skema yang lebih fleksibel namun dengan premi yang lebih tinggi. Di sektor perbankan, risiko kredit umumnya lebih rendah karena calon debitur telah melalui proses seleksi yang ketat. Hal ini memungkinkan bank untuk menawarkan asuransi kredit dengan premi yang lebih terjangkau.

Sementara itu, fintech lending sering kali melayani segmen masyarakat yang belum terjangkau oleh perbankan, termasuk pekerja informal dan mereka yang tidak memiliki riwayat kredit yang jelas. Karena risiko gagal bayar lebih tinggi, penyedia asuransi membebankan premi yang lebih mahal guna menutup potensi kerugian.

Menurut Direktur Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Hendro Wicaksono, perbedaan utama antara asuransi kredit fintech dan perbankan terletak pada karakteristik nasabahnya.

"Fintech lending melayani masyarakat yang mungkin tidak memiliki akses ke perbankan, sehingga skema asuransi kreditnya pun berbeda. Premi lebih tinggi karena ada risiko yang lebih besar, terutama pada sektor pinjaman tanpa agunan," ujar Hendro.

Ia juga menambahkan bahwa regulator dan pelaku industri perlu mencari solusi agar asuransi kredit fintech lebih menarik bagi masyarakat.

"Jika premi bisa lebih kompetitif dan manfaat yang diberikan lebih jelas, maka adopsi asuransi kredit fintech bisa meningkat," tambahnya.

Kurangnya Edukasi dan Transparansi

Selain faktor harga, minimnya edukasi mengenai manfaat asuransi kredit juga menjadi penyebab rendahnya adopsi produk ini di sektor fintech. Banyak pengguna yang tidak sepenuhnya memahami bagaimana asuransi kredit bekerja dan mengapa mereka perlu memilikinya.

Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tingkat literasi asuransi di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan produk keuangan lainnya.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menekankan pentingnya edukasi bagi masyarakat agar mereka memahami manfaat perlindungan finansial yang diberikan oleh asuransi kredit.

"Kami melihat bahwa pemahaman masyarakat mengenai asuransi kredit masih perlu ditingkatkan. Banyak yang menganggapnya sebagai biaya tambahan yang tidak diperlukan, padahal asuransi ini dapat memberikan perlindungan finansial jika terjadi hal-hal yang tidak terduga," kata Mahendra.

Selain itu, transparansi mengenai skema pembayaran klaim dan manfaat asuransi juga masih menjadi tantangan. Beberapa pengguna mengeluhkan sulitnya proses klaim asuransi kredit fintech, sehingga mereka ragu untuk menggunakannya.

Upaya Fintech dan Asuransi dalam Meningkatkan Adopsi

Menyikapi rendahnya minat masyarakat terhadap asuransi kredit, beberapa perusahaan fintech dan asuransi mulai berinovasi untuk meningkatkan daya tarik produk ini. Salah satu langkah yang dilakukan adalah menawarkan premi yang lebih kompetitif dan menyesuaikan skema pembayaran dengan kemampuan finansial nasabah.

Beberapa platform fintech juga telah bekerja sama dengan perusahaan asuransi untuk menciptakan paket pinjaman yang sudah mencakup asuransi dengan biaya lebih terjangkau. Dengan cara ini, biaya premi tidak terasa sebagai beban tambahan yang memberatkan pengguna.

Menurut Hendro Wicaksono dari AFPI, kolaborasi antara fintech dan penyedia asuransi sangat penting untuk mendorong pertumbuhan produk asuransi kredit.

"Dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan edukasi yang lebih baik, kami optimistis bahwa adopsi asuransi kredit di sektor fintech bisa meningkat secara bertahap," ujarnya.

Di sisi lain, OJK juga berencana untuk memperkuat regulasi guna memastikan bahwa skema asuransi kredit fintech lebih transparan dan memberikan manfaat yang jelas bagi pengguna.

"Kami terus memantau perkembangan industri dan akan memastikan bahwa produk asuransi kredit yang ditawarkan benar-benar memberikan perlindungan yang adil dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat," kata Mahendra Siregar.

Asuransi kredit fintech masih menghadapi tantangan besar dalam menarik minat masyarakat, terutama karena tingginya premi yang dianggap memberatkan pengguna. Faktor lain seperti kurangnya literasi keuangan dan transparansi dalam proses klaim juga menjadi kendala utama.

Meski demikian, berbagai upaya telah dilakukan oleh fintech dan perusahaan asuransi untuk meningkatkan daya tarik produk ini, termasuk melalui penyesuaian premi dan edukasi masyarakat. Dengan regulasi yang lebih kuat serta inovasi dalam skema asuransi, diharapkan produk ini dapat lebih diterima oleh masyarakat dan memberikan perlindungan finansial yang lebih luas bagi pengguna fintech lending di Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index