Kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen khusus untuk barang dan jasa mewah, seperti jet pribadi, rumah mewah, serta beberapa barang premium lainnya, mendapatkan beragam respons dari para pelaku usaha. Di Kalimantan Selatan, para pengusaha terutama dari sektor pertambangan dan properti memberikan pandangan mereka mengenai dampak dari kebijakan ini.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kalimantan Selatan, Hj Shinta Laksmi Dewi, menyatakan bahwa kebijakan ini dianggap melegakan bagi pelaku usaha dan masyarakat karena memberikan kepastian mengenai objek yang dikenai kenaikan PPN.
“Artinya sudah ada kepastian apa saja yang akan mendapatkan beban kenaikan ini. Sebagaimana disebutkan beberapa yang terdampak di antaranya private jet, rumah mewah dengan harga Rp 30 miliar, pangan premium seperti wagyu yang bisa berharga Rp 2 atau 3 juta per kilogram dan lainnya," ungkap Shinta.
Lebih lanjut, Shinta mengajak masyarakat untuk melihat kebijakan tersebut secara positif dan bijak dengan menyadari bahwa kebijakan ini memberikan opsi bagi konsumen untuk memilih sesuai kebutuhan dan kemampuan finansial. "Dari sini kita melihat potensi subsidi silang daripada target alternatif penerimaan negara, di mana luxury item akan mensupport bahan-bahan lainnya. Dan yang pasti kita bersyukur bahan pangan, bahan papan tidak terdampak kenaikan PPN 12 persen ini," tambahnya.
Sektor Pertambangan Menghadapi Tantangan
Di Kalsel, sektor pertambangan yang padat modal menjadi salah satu yang bakal merasakan dampak dari kenaikan PPN ini. Sektor ini mencakup perdagangan alat berat, namun untuk masyarakat umum terutama golongan menengah ke bawah, dampaknya masih dianggap minim.
“Khususnya sektor padat modal termasuk pertambangan, meskipun terdapat alat berat dalam penjualannya, hal ini tidak ada berdampak signifikan pada masyarakat banyak ataupun golongan menengah ke bawah,” tegas Shinta.
Sektor Properti dan Tantangan Pajak
Sementara itu, di sektor properti, dampak dari kebijakan kenaikan PPN ini menjadi perhatian serius, terutama bagi pengembang perumahan di Kalimantan Selatan. H Ahyat Sarbini, seorang pengembang perumahan subsidi dan komersial, mengungkapkan bahwa meningkatnya beban pajak merupakan tantangan bagi pengembang properti.
“Mengenai pajak 12 persen bagi barang mewah jelas bagi pengembang hal ini membebani. Sebab dalam pembangunan perumahan itu ada pajak-pajak lain sehingga totalnya bisa mencapai 16 persen. Belum lagi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang idealnya dibayar oleh pembeli, kadang kita juga yang membayar,” kata Ahyat yang juga merupakan Ketua DPD REI Kalsel.
Menurut Ahyat, 90 persen pengembang perumahan di Kalsel saat ini lebih banyak fokus pada pengerjaan rumah subsidi. “Hanya 10 persen yang mengerjakan perumahan komersil yang masuk kategori rumah mewah," tambahnya.
Meskipun demikian, Ahyat melihat adanya peluang dari kebijakan PPN DTP (Ditanggung Pemerintah) yang memberikan keringanan bagi pembelian rumah dengan harga di bawah Rp2 miliar. “Walaupun kondisi perumahan komersil tidak mengalami peningkatan penjualan yang signifikan, kita terbantu dengan PPN DTP untuk harga rumah di kisaran Rp 500 juta sampai Rp2 miliar,” ujarnya.
Masa Depan Ekonomi Kalsel
Dengan kebijakan kenaikan PPN ini, baik sektor pertambangan maupun properti di Kalsel diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan kondisi baru, sekaligus mencari peluang untuk tetap mempertahankan daya saing dan meningkatkan kontribusi mereka terhadap perekonomian daerah. Kebijakan ini juga diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pengelolaan penerimaan negara melalui subsidi silang, terutama untuk barang-barang mewah.
Di tengah dinamika ekonomi global yang terus berkembang, penting bagi setiap sektor industri untuk bersinergi dengan kebijakan pemerintah guna meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Masyarakat juga diharapkan dapat menyikapi kebijakan ini dengan bijak, mempertimbangkan prioritas kebutuhan, dan mengoptimalkan potensi ekonomi yang ada.
Dengan penerapan kebijakan yang terarah dan kolaboratif, perhatian terhadap dampak sosial ekonomi diharapkan dapat diminimalisir sembari memaksimalkan outcome untuk kesejahteraan masyarakat. Diskusi dan evaluasi terus-menerus dari berbagai pihak menjadi kunci dalam memastikan kebijakan ini dapat berjalan lancar dan membawa manfaat optimal.