Dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, komitmen menuju kemandirian energi dan target nol emisi lebih cepat dari 2060 masih belum sepenuhnya terefleksi dalam kebijakan konkret.
Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga masyarakat sipil yang fokus pada isu energi dan lingkungan, menilai ada kebutuhan mendesak bagi pemerintah untuk segera menerjemahkan janji tersebut menjadi rencana yang terukur, terutama untuk meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan.
Komitmen Presiden di Forum Internasional
Presiden Prabowo, dalam pidatonya di APEC CEO Summit dan KTT G20 di Brasil, menyatakan kepemimpinan Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim global dengan strategi ambisius. Targetnya adalah mencapai nol emisi sebelum 2050 dengan menghentikan operasional PLTU batu bara dalam 15 tahun, dan mencapai 100 persen bauran energi terbarukan dalam 10 tahun. "Pemerintah harus segera menerjemahkan komitmennya bertransisi energi dengan mengeluarkan rencana untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan," ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Namun, hingga saat ini, belum ada arahan khusus dari presiden untuk memastikan tercapainya target bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025, maupun target jangka panjang lainnya.
Kritik terhadap Rencana Ketenagalistrikan yang Ada
Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang diterbitkan pada November 2024, masih mengacu pada pencapaian target nol emisi 2060, bukan 2050 seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan kesan bahwa terdapat ketidakkonsistenan antara pernyataan presiden di forum internasional dan kebijakan domestik. RUKN juga masih mencakup pembangunan PLTU baru sampai 2035.
"Transisi energi merupakan proses panjang yang membutuhkan keberanian untuk mengambil keputusan sekarang, sehingga perencanaan yang terintegrasi dapat diimplementasikan secara efektif,” tambah Fabby. Menurut IESR, pengakhiran operasional PLTU batu bara dini bisa diterapkan pada 105 unit PLTU (25 GW), memberikan kontribusi hampir setengah dari pengurangan emisi kumulatif pembangkit listrik.
Peran Energi Terbarukan dan Subsidi
Untuk mendukung adopsi energi terbarukan, IESR menyarankan pemerintah untuk mengurangi subsidi energi fosil yang pada 2024 mencapai Rp386,9 triliun, yang menghambat pengembangan energi bersih di Indonesia. "Strategi penurunan subsidi energi kotor sangat penting, mengingat penggunaan energi fosil juga meningkatkan beban biaya kesehatan, terutama di kota besar seperti Jakarta," ucap Fabby.
Guna mempercepat pendanaan transisi energi, IESR menyarankan pemerintah memberlakukan pungutan 2,5-5 persen dari nilai batu bara yang diekspor. Dengan cara ini, diperkirakan pemerintah bisa mendapatkan lebih dari USD 1,25-USD 2,5 miliar per tahun untuk pembiayaan investasi energi terbarukan.
Pengembangan Biodiesel dan Risiko Lingkungan
Salah satu strategi pemerintahan Prabowo-Gibran adalah pengembangan biodiesel sebagai bagian dari kemandirian energi. Namun, aspek ini perlu dikelola dengan hati-hati agar tidak memicu deforestasi dan tidak memperparah emisi gas rumah kaca. IESR mendorong diversifikasi bahan baku biodiesel untuk mengurangi ketergantungan pada minyak sawit yang bisa merusak ekosistem.
"Komitmen Indonesia mencapai net FOLU sink pada 2030 seharusnya menjadi pertimbangan dalam pengembangan biodiesel," kata Fabby. Untuk itu, semua CPO untuk biodiesel perlu memiliki sertifikasi keberlanjutan seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) guna memastikan produksi yang mendukung kemandirian energi sekaligus mengurangi emisi karbon.
Dorongan untuk Aksi Nyata dan Keberlanjutan
Dalam 100 hari ini, IESR mendesak Presiden Prabowo untuk menyatakan secara tegas pentingnya memenuhi prinsip keberlanjutan di setiap tahap produksi biodiesel, guna mengurangi risiko lingkungan dan sosial serta memastikan program ini tidak merugikan upaya penurunan emisi karbon. "Tanpa kebijakan dan tindakan yang jelas, kesempatan untuk mencapai kemandirian energi dan nol emisi akan hilang begitu saja," tutup Fabby.
Dalam konteks kemandirian energi dan transisi menuju energi terbarukan, langkah Pemerintahan Prabowo-Gibran sangat penting, bukan hanya untuk memenuhi komitmen internasional tetapi juga untuk masa depan energi dan lingkungan Indonesia yang lebih berkelanjutan.