JAKARTA - Empat dekade berlalu sejak pertama kali dirilis, sebuah film klasik kembali menghidupkan layar dengan pesan yang tetap menggema: keberanian dan keteguhan perempuan dalam menembus batasan profesi. Cinta di Awal Tigapuluh, film produksi tahun 1985, kini tayang ulang dalam format HD, membuka kembali ruang perbincangan tentang peran perempuan di dunia perfilman, khususnya sosok pekerja di balik layar.
Dalam film ini, penonton diajak mengenal karakter Anggraini, seorang stuntwoman yang tidak hanya menghadirkan aksi di depan kamera, tetapi juga menjadi simbol perjuangan dalam industri yang kerap menempatkan perempuan sebagai pelengkap. Diperankan oleh Anna Tairas, karakter Anggraini tidak ditampilkan secara klise atau sentimental, melainkan sebagai figur yang kuat, berdikari, dan berani mengambil risiko dalam profesi yang penuh tantangan.
Berangkat dari latar belakang yang jarang diangkat di perfilman Indonesia—yakni profesi stuntwoman Cinta di Awal Tigapuluh membuka ruang bagi diskusi tentang representasi perempuan dalam film. Karakter Anggraini tidak hanya menonjol karena keberanian fisiknya, tapi juga karena kedalaman emosional dan komitmennya terhadap pekerjaan. Ia hadir sebagai perempuan yang tidak bergantung pada cinta untuk membentuk identitasnya, melainkan justru cinta hadir sebagai ujian akan prinsip dan keberaniannya mengambil keputusan.
- Baca Juga Suara Pelajar untuk Pendidikan Merdeka
Meskipun cerita film ini dibalut dalam kerangka drama romantis, esensinya jauh lebih dalam. Cinta bukan hanya tentang hubungan antara dua insan, tetapi tentang bagaimana seseorang bertahan dalam dunia yang tak selalu memberinya kemudahan. Dalam hal ini, Cinta di Awal Tigapuluh menyajikan cinta sebagai bentuk kedewasaan dan keberanian memilih jalan hidup, meski penuh liku dan pertaruhan.
Tak hanya kuat dari sisi cerita, film ini juga menjadi artefak sinematik yang merekam dinamika industri film Indonesia era 1980-an. Di balik kemilau layar, film ini memperlihatkan proses kerja kru film, ketekunan para pemain, hingga tantangan dalam mewujudkan adegan-adegan berbahaya. Penonton diajak menyelami dunia yang jarang terlihat: sisi teknis dan fisik dari produksi film. Dari sini pula muncul apresiasi yang lebih besar terhadap dedikasi para pelaku industri hiburan kala itu.
Kekuatan Cinta di Awal Tigapuluh tidak hanya terletak pada nilai historisnya, tetapi juga pada keberanian tema yang diangkat. Hingga hari ini, masih tidak banyak film yang mengangkat sosok perempuan sebagai pemeran utama dalam profesi maskulin dan menantang seperti stuntwoman. Inilah mengapa film ini tetap terasa segar dan relevan meski telah melewati puluhan tahun.
Pesan moral yang dibawa oleh film ini juga menjadi salah satu alasan mengapa penayangannya kembali disambut positif. Di tengah gempuran film-film modern yang terkadang terlalu fokus pada visual dan efek, Cinta di Awal Tigapuluh tampil sederhana namun menyentuh. Film ini mengajak penonton untuk kembali pada nilai-nilai dasar kemanusiaan: perjuangan, pengorbanan, serta penghormatan terhadap profesi yang dilakoni dengan sepenuh hati.
Di masa sekarang, ketika kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan terus diperjuangkan dalam berbagai sektor, hadirnya film ini dalam layar ulang menjadi sangat kontekstual. Ia menjadi pengingat bahwa representasi perempuan tangguh dalam budaya populer sudah dimulai sejak lama, meskipun belum mendapat sorotan sebanyak saat ini.
Karakter Anggraini merepresentasikan semangat perempuan Indonesia yang tidak menyerah oleh stigma sosial maupun tantangan profesi. Dalam dirinya tergambar keberanian untuk memilih jalan yang jarang dilalui, serta keteguhan untuk tetap profesional meski harus menghadapi risiko besar. Ia tidak meminta perlakuan khusus, tetapi bekerja keras untuk mendapatkan tempat yang layak dalam dunia yang keras.
Penayangan ulang Cinta di Awal Tigapuluh pun menjadi jendela refleksi. Ia membuka ruang nostalgia sekaligus mendorong percakapan tentang bagaimana perempuan, baik di masa lalu maupun sekarang, memiliki potensi besar untuk mengubah narasi dominan dalam industri apa pun, termasuk film. Melalui kisah Anggraini, muncul harapan agar ke depan akan lebih banyak tokoh perempuan inspiratif yang ditampilkan di layar lebar—bukan sekadar pendamping tokoh utama pria, tetapi sebagai pusat cerita yang penuh daya dan makna.
Tak berlebihan bila dikatakan bahwa film ini adalah warisan berharga dalam perjalanan perfilman nasional. Tidak hanya karena kualitas produksinya yang mampu bertahan uji waktu, tetapi juga karena keberaniannya menyuarakan tema yang penting. Cinta di Awal Tigapuluh adalah bukti bahwa kisah yang jujur dan relevan akan selalu menemukan tempatnya di hati penonton, berapa pun usia mereka.
Dengan penyampaian yang lugas namun menyentuh, film ini menunjukkan bahwa keberanian untuk berbeda bisa menjadi kekuatan. Dalam sorot lampu dan dentuman adegan laga, tetap terselip nilai-nilai yang memperkuat jati diri perempuan Indonesia: tangguh, tulus, dan tidak mudah menyerah.