JAKARTA - Transformasi energi nasional menuju era kendaraan listrik kini memasuki babak baru. Proyek pembangunan industri baterai kendaraan listrik (EV) senilai Rp96,04 triliun resmi memasuki tahap konstruksi. Groundbreaking ini menjadi salah satu tonggak sejarah dalam pembangunan ekosistem energi berkelanjutan di Tanah Air.
Proyek ini melibatkan enam entitas usaha patungan yang membentuk mata rantai industri baterai dari hulu hingga hilir. Dalam struktur konsorsium, Indonesia diwakili oleh perusahaan BUMN sektor tambang dan energi, sementara mitra global berasal dari perusahaan-perusahaan besar industri baterai dunia.
Struktur dan Skema Proyek
Proyek ini terbagi ke dalam dua bagian utama: hulu dan hilir. Pada sektor hulu, fokus utama adalah pengadaan bahan baku seperti nikel, proses pemurnian, dan produksi intermediate product yang menjadi fondasi pembuatan baterai.
Unit Hulu 1 memproduksi nikel dari bijih saprolit dan limonit dengan kapasitas produksi 13,8 juta wet metric ton (wmt) per tahun. Produksi sudah berjalan sejak 2023.
Unit Hulu 2 berupa fasilitas smelter RKEF (Rotary Kiln Electric Furnace) yang akan menghasilkan 88.000 ton nikel paduan per tahun. Ditargetkan mulai produksi pada 2027.
Unit Hulu 3 berupa smelter HPAL (High Pressure Acid Leaching) yang akan memproduksi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), bahan utama untuk baterai, dengan kapasitas 55.000 ton per tahun dan mulai beroperasi pada 2028.
Sementara itu, sektor hilir terdiri dari tiga unit utama yang mendukung pengolahan lanjut dan daur ulang.
Unit Hilir 1 mengolah bahan baku menjadi lithium hydroxide dan katoda baterai, dengan kapasitas 30.000 ton per tahun, ditargetkan mulai beroperasi pada 2028.
Unit Hilir 2 membangun fasilitas sel baterai dengan kapasitas total 15 gigawatt hours (GWh) per tahun, terbagi dalam dua tahap: 6,9 GWh untuk tahap pertama dan 8,1 GWh tahap kedua. Fasilitas ini ditargetkan mulai produksi pada 2026 dan mencapai kapasitas penuh pada 2028.
Unit Hilir 3 berfokus pada proses daur ulang baterai dengan kapasitas 20.000 ton logam per tahun. Operasional penuh ditargetkan pada 2031.
Ambisi Besar Pengembangan Energi Bersih
Investasi besar ini bukan hanya sekadar pembangunan fisik. Kehadiran proyek ini menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia bersiap untuk menjadi pemain penting dalam rantai pasok global baterai kendaraan listrik. Posisi sebagai produsen nikel terbesar di dunia kini diperkuat dengan strategi hilirisasi dan pengolahan lanjutan, agar nilai tambah tidak lagi hilang di luar negeri.
Presiden secara langsung menekankan pentingnya kolaborasi dan keberanian mengambil langkah besar agar Indonesia tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah, melainkan juga pelaku industri teknologi tinggi.
Dalam pernyataannya, Presiden menyebutkan bahwa proyek ini adalah bukti nyata ambisi Indonesia membangun masa depan energi yang bersih, mandiri, dan inklusif. Ia menyebut sinergi antara BUMN dan mitra global sebagai bentuk keberhasilan strategi jangka panjang yang dirintis sejak masa pemerintahan sebelumnya.
Efek Domino pada Ekonomi Nasional
Selain membangun ekosistem energi ramah lingkungan, proyek ini diperkirakan akan memberikan efek domino pada berbagai sektor. Ribuan lapangan pekerjaan akan tercipta, baik langsung di sektor konstruksi dan operasional, maupun tidak langsung dalam rantai logistik, manufaktur, hingga jasa pendukung.
Dari sisi ekonomi makro, kapasitas produksi baterai sebesar 15 GWh akan berkontribusi signifikan dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak. Jika seluruh produksi digunakan untuk kendaraan listrik, Indonesia dapat menghemat hingga 300 ribu kiloliter BBM per tahun.
Tak hanya itu, industri kendaraan listrik nasional akan mendapatkan dorongan kuat dari segi pasokan bahan baku lokal yang lebih stabil dan murah. Dalam jangka panjang, ini dapat memperkuat daya saing produk otomotif nasional di pasar ekspor.
Fokus Jangka Panjang: Keberlanjutan dan Teknologi
Meskipun ambisi dan investasi besar sudah dimulai, tantangan ke depan tidak kecil. Salah satu tantangan utama adalah menjaga keberlanjutan dari aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola. Teknologi yang digunakan harus mematuhi standar internasional, terutama dalam pengelolaan limbah industri dan efisiensi energi.
Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi prioritas. Proyek ini harus mampu mendorong transfer teknologi dan keterampilan ke tenaga kerja lokal, sehingga Indonesia tidak hanya menjadi lokasi pabrik, tetapi juga pusat inovasi teknologi baterai di masa depan.
Upaya riset dan pengembangan (R&D) juga diharapkan meningkat, seiring dengan kebutuhan mempercepat penguasaan teknologi tinggi di bidang penyimpanan energi.
Langkah Awal Menuju Industri EV Terpadu
Proyek ini menandai babak baru dalam pengembangan industri kendaraan listrik di Indonesia. Kehadiran pabrik baterai ini menjadi fondasi penting bagi rencana pembangunan ekosistem kendaraan listrik yang terintegrasi, mulai dari bahan baku hingga produk akhir.
Dengan komitmen pemerintah, sinergi pelaku industri, dan dukungan masyarakat, Indonesia dapat mengambil posisi strategis dalam peta industri baterai dan kendaraan listrik global. Proyek Rp96 triliun ini bukan hanya proyek energi, tetapi juga proyek masa depan bangsa.