JAKARTA - Potensi Indonesia untuk menjadi pelopor energi bersih semakin terbuka lebar seiring sorotan baru pada model pengembangan energi terbarukan berbasis pulau. Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam laporan terbarunya menekankan bahwa pendekatan ini selaras dengan karakteristik geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Sistem energi mandiri di setiap pulau diyakini bukan hanya memperkuat ketahanan energi nasional, tetapi juga mendekatkan Indonesia pada target emisi nol bersih (Net Zero Emission/NZE) pada 2060 atau bahkan lebih cepat.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam acara peluncuran laporan “Pulau Berbasis 100% Energi Terbarukan dan Fleksibilitas pada Sistem Tenaga Listrik” di Jakarta, menegaskan keunggulan pendekatan ini. Ia menekankan bahwa pengembangan energi terbarukan berbasis pulau menawarkan efisiensi biaya lebih besar dibanding pembangunan jaringan transmisi bawah laut, yang biayanya mencapai tiga hingga lima kali lipat kabel darat, yaitu sekitar USD 2–3 juta per kilometer.
“Kondisi iklim tropis dan ketersediaan sumber daya terbarukan yang merata, terutama dari tenaga surya, merupakan modal kuat bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energi,” ujar Fabby.
Selain lebih hemat biaya, sistem energi terdistribusi ini juga menekan risiko logistik serta ketergantungan suplai bahan bakar fosil di pulau-pulau terpencil. Studi IESR mengidentifikasi Pulau Timor, Sumbawa, dan Sulawesi sebagai daerah yang dapat memenuhi kebutuhan listriknya sepenuhnya dari energi terbarukan.
Untuk Pulau Timor dan Sumbawa, total investasi yang dibutuhkan untuk transformasi ke 100 persen energi terbarukan diperkirakan mencapai USD 5,21 miliar atau sekitar Rp85 triliun hingga 2050.
Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR, Abraham Halim, menyoroti pentingnya fleksibilitas sistem, khususnya di Sulawesi. Potensi energi terbarukan Sulawesi mencapai 63 GW, didominasi energi surya dan angin. Dalam pemodelan IESR berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), porsi energi terbarukan variabel di Sulawesi diprediksi naik drastis dari 2,4 persen pada 2024 menjadi 29 persen di 2060.
“Fleksibilitas sistem listrik menjadi krusial agar penetrasi energi terbarukan yang besar tetap dapat menjaga stabilitas pasokan,” jelas Abraham.
IESR juga memproyeksikan bahwa ke depan, pembangkit fleksibel dari energi hidro, bioenergi, atau bahkan pembangkit fosil baru akan digunakan sebagai jembatan sementara sebelum sistem penyimpanan baterai harian, konektivitas antar pulau, dan pengelolaan energi musiman dioptimalkan.
Mereka menekankan pemerintah harus mulai mengintegrasikan analisis fleksibilitas ini ke dalam perencanaan jangka panjang, serta memastikan infrastruktur penyimpanan energi dan bioenergi berkembang pesat untuk mendukung keandalan dan efisiensi biaya sistem.
Sementara itu, Pulau Timor dan Sumbawa disebut memiliki peluang besar sebagai model percontohan pulau berbasis 100 persen energi terbarukan. Analis Energi Terbarukan dan Ketenagalistrikan IESR, Alvin P Sisdwinugraha, mengungkapkan pentingnya peran pemerintah daerah. Ambisi lokal menjadi katalis, seperti target NZE Pemerintah Provinsi NTB pada 2050 dan target bauran energi terbarukan sebesar 47 persen Pemerintah Provinsi NTT pada 2034 sesuai draf Rencana Umum Energi Daerah (RUED) terbaru.
Pulau Sumbawa memiliki potensi energi terbarukan mencapai 10,21 GW, dengan dominasi tenaga surya sebesar 8,64 GW. Strategi bertahap disarankan oleh IESR, dengan langkah awal mengganti proyek pembangkit fosil dalam tahap perencanaan dengan pembangkit berbasis energi terbarukan. Strategi jangka panjang melibatkan konversi pembangkit ke teknologi berbasis hidrogen dan amonia hijau hingga 2050.
Hal yang sama berlaku bagi Pulau Timor, yang memiliki potensi energi terbarukan total 30,81 GW dengan dominasi tenaga surya sebesar 20,72 GW. Dalam skenario IESR, Timor berpotensi capai 100 persen bauran energi terbarukan pada 2050. Strategi awalnya adalah intervensi atas rencana PLTU dan PLTG yang masih tercantum dalam RUPTL dengan pembangkit terbarukan.
“Intervensi ini harus dilakukan menyeluruh dan sesuai hukum agar transisi energi berjalan lancar,” tutur Alvin.
Dalam jangka panjang, semua pembangkit fosil akan dihentikan, termasuk PLTU Timor, dan diganti pembangkit tenaga surya berskala besar dengan teknologi penyimpanan energi. Proyeksi IESR menunjukkan pada 2050, 82 persen listrik Pulau Timor berasal dari energi surya, disusul mini hidro 9 persen, angin 6 persen, dan biomassa 3 persen.
Kajian IESR menyimpulkan, visi pulau 100 persen energi terbarukan realistis, namun memerlukan langkah konkret: percepatan pensiun dini PLTU batubara dengan pembiayaan dan regulasi pendukung, percepatan pengembangan teknologi penyimpanan energi, serta modernisasi infrastruktur kelistrikan agar mampu mengakomodasi penetrasi energi terbarukan tinggi.
“Koordinasi lintas sektor adalah kunci. Pemerintah pusat perlu sinkronkan kebijakan, penyedia energi harus bekerja sama dalam pengelolaan regional, dan sektor swasta didorong aktif berpartisipasi dengan kepastian regulasi dan investasi yang stabil,” pungkas Alvin.