JAKARTA - Indonesia menyandang predikat sebagai pemilik cadangan panas bumi terbesar di dunia dengan potensi mencapai 23,7 gigawatt (GW). Angka ini menguasai sekitar 40% dari total cadangan panas bumi global, mengungguli Amerika Serikat (AS) yang memiliki potensi 15 GW atau 25%. Meski demikian, kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) terpasang AS masih yang terbesar di dunia, yakni 3,9 GW. Indonesia berada di posisi kedua dengan kapasitas terpasang sekitar 2,65 GW, diikuti oleh Filipina (1,98 GW), Turki (1,73 GW), dan Selandia Baru (1,2 GW).
Dalam dekade terakhir, Indonesia berhasil mendorong penambahan kapasitas PLTP sebesar 1,2 GW antara 2014 hingga 2024. Salah satu pencapaian terbaru adalah rencana komersialisasi 55 MW dari PLTP Lumut Balai yang dikembangkan oleh Pertamina Geothermal Energy (PGE).
Target Kapasitas PLTP Nasional Dalam RUPTL 2025-2034
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034, penambahan kapasitas terpasang PLTP nasional ditargetkan sebesar 5,2 GW. Target ini menunjukkan keseriusan pemerintah dan PLN dalam memprioritaskan energi panas bumi sebagai bagian penting dari bauran energi nasional yang ramah lingkungan.
Dari sudut pandang ilmu ekonomi energi, penambahan kapasitas sebesar 1,2 GW selama sepuluh tahun terakhir sudah merupakan capaian positif. Hal ini mencerminkan sinergi antara pemerintah sebagai regulator, pengembang panas bumi sebagai produsen listrik, dan PLN sebagai pembeli utama listrik panas bumi.
“Sektor kelistrikan nasional merupakan regulated single buyer market, di mana PLN menjadi pembeli tunggal listrik dengan regulasi tarif yang ditetapkan pemerintah,” ungkap seorang analis energi. Sistem ini menimbulkan tantangan tersendiri dalam mencapai kesepakatan bisnis antara pengembang dan pembeli listrik panas bumi.
Tantangan Ekonomi dan Struktur Pasar Regulated Single Buyer
Dalam kerangka regulated single buyer market, pemerintah memegang peran sebagai regulator sekaligus penentu besaran subsidi listrik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Besaran subsidi listrik ini menutupi selisih antara tarif listrik yang dibebankan kepada konsumen dengan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik oleh PLN.
Karena PLN memiliki posisi monopsoni sebagai pembeli tunggal, ada kecenderungan untuk memilih sumber energi dengan BPP lebih rendah, seperti batubara, minyak, gas, atau energi terbarukan lain seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan tenaga surya (PLTS), dibandingkan dengan pembangkit listrik panas bumi.
Saat ini, harga listrik dari PLTS rata-rata sudah mencapai kurang dari 6 sen dolar AS per kWh, jauh lebih rendah dibandingkan listrik panas bumi yang umumnya di atas 10 sen dolar AS per kWh. Faktor biaya ini membuat PLTS lebih menarik secara komersial untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam sistem kelistrikan nasional.
Namun, dari sisi biaya operasi, PLTP termasuk yang paling efisien, yakni sekitar Rp107 per kWh, jauh lebih rendah dibanding rata-rata biaya operasi pembangkit nasional yang mencapai Rp1.391 per kWh. Kendati demikian, risiko tinggi selama tahapan eksplorasi dan pengembangan panas bumi menyebabkan keekonomian PLTP masih relatif mahal secara keseluruhan.
Gap Harga dan Feed-in Tariff untuk Pengembang Panas Bumi
Menurut studi LPEM UI (2023), tingkat keekonomian harga listrik panas bumi bervariasi berdasarkan kapasitas. Untuk kapasitas 10 MW, harga listrik keekonomian mencapai 22,77 sen dolar AS/kWh; kapasitas 50 MW sekitar 15,18 sen; 100 MW sebesar 13,50 sen; dan 220 MW sekitar 11,80 sen. Angka ini masih lebih tinggi dibandingkan Harga Patokan Tertinggi (HPT) listrik panas bumi yang diatur Perpres 112 tahun 2022, yakni maksimal 15 sen dolar AS/kWh untuk pembangkit kecil dan 11,5 sen untuk kapasitas di atas 100 MW.
Pengaturan HPT ini merupakan bentuk feed-in tariff yang menjamin kepastian pengembalian investasi bagi pengembang panas bumi. Namun kenyataannya, terdapat selisih signifikan antara tingkat keekonomian pengembang dan harga patokan yang menjadi acuan negosiasi jual beli listrik panas bumi.
“Selisih harga ini menjadi tantangan besar karena tidak ada instrumen atau mekanisme yang jelas untuk menanggung biaya selisih tersebut. Skema feed-in tariff tidak efektif jika harga patokan di bawah biaya keekonomian yang dibutuhkan pengembang,” jelas pakar ekonomi energi.
Pentingnya Political Will dan Kebijakan Pemerintah
Kesepakatan jual beli listrik panas bumi sangat bergantung pada kemauan PLN sebagai pembeli tunggal. Namun, keputusan PLN seringkali tidak sepenuhnya berdasarkan kalkulasi keekonomian murni, melainkan juga dipengaruhi oleh kebijakan tarif listrik dan alokasi subsidi pemerintah.
Kerangka regulated single buyer market di Indonesia sulit diubah dalam waktu dekat karena didukung oleh Konstitusi dan peraturan perundangan yang ada. Oleh sebab itu, percepatan pengembangan listrik panas bumi sangat bergantung pada political will pemerintah sebagai regulator.
“Pemerintah perlu memastikan bahwa tarif listrik dan subsidi dalam APBN selalu disesuaikan dengan target penambahan kapasitas PLTP sesuai RUPTL. Ini harus diikuti dengan insentif fiskal yang memadai bagi PLN agar dapat mengimplementasikan pengadaan listrik panas bumi secara bertahap,” ujar seorang pengamat kebijakan energi.
Strategi Percepatan Energi Panas Bumi
Pengembangan listrik panas bumi di Indonesia berada dalam ekosistem pasar tunggal pembeli yang kompleks. Meskipun potensi besar dan target ambisius telah ditetapkan, tantangan keekonomian dan struktur pasar menjadi hambatan utama.
Untuk mempercepat pencapaian target kapasitas listrik panas bumi, diperlukan sinergi kuat antara regulator, pengembang, dan PLN sebagai pembeli. Kebijakan tarif dan subsidi harus dirancang secara adaptif agar mampu mendorong investasi pengembangan panas bumi sekaligus menjaga keterjangkauan listrik bagi masyarakat.
Dengan political will yang kuat dan penyesuaian kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan potensi panas bumi yang besar untuk mendukung bauran energi nasional yang lebih hijau dan berkelanjutan.