Harga Minyak Dunia Melemah pada Jumat Pagi, Dipicu Tarif Dagang Trump dan Kebijakan OPEC+

Jumat, 04 April 2025 | 10:06:48 WIB

JAKARTA - Harga minyak dunia kembali melemah pada perdagangan Jumat pagi, 4 April 2025, menyusul tekanan global akibat kebijakan tarif timbal balik Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan keputusan tak terduga dari OPEC+ yang mempercepat peningkatan produksi minyak global.

Berdasarkan data perdagangan pukul 07.10 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei 2025 turun 0,28 persen ke level US$66,76 per barel, dari posisi sebelumnya di US$66,95 per barel. Penurunan ini memperpanjang tren koreksi yang terjadi sejak Kamis kemarin.

Menurut laporan Bloomberg, koreksi harga minyak ini terjadi sebagai respon pasar terhadap dua isu utama: pertama, pengumuman terbaru Presiden Donald Trump mengenai penerapan tarif impor baru terhadap sejumlah produk dari negara mitra dagang utama; kedua, keputusan mengejutkan dari OPEC+ untuk meningkatkan produksi lebih cepat dari jadwal yang telah direncanakan.

“Kebijakan tarif yang diumumkan Presiden Trump memicu kekhawatiran investor terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global, yang pada akhirnya berdampak pada permintaan energi dunia,” tulis Bloomberg dalam laporannya.

Penerapan tarif tersebut, menurut para analis, dinilai akan menekan aktivitas industri di sejumlah negara besar, terutama Tiongkok dan kawasan Eropa, yang selama ini menjadi konsumen utama minyak mentah dunia.

Keputusan OPEC+ Tambah Tekanan Pasar

Selain ketidakpastian dari sisi geopolitik dan perdagangan global, pasar minyak juga terguncang akibat pengumuman OPEC+ yang mempercepat jadwal peningkatan produksi mereka. Organisasi negara-negara pengekspor minyak dan sekutunya (OPEC+) sebelumnya telah menyatakan komitmen untuk meningkatkan produksi secara bertahap pada semester kedua 2025. Namun, dalam pertemuan darurat pekan ini, mereka memutuskan untuk mempercepat peningkatan tersebut.

“Keputusan OPEC+ untuk menaikkan produksi lebih awal menjadi kejutan bagi pasar. Langkah ini dapat memperbesar pasokan global dalam waktu singkat dan menekan harga,” ujar analis energi dari Energy Intelligence, Michael Tran.

Tran menambahkan, pelaku pasar saat ini tengah mencermati bagaimana pasar akan menyerap tambahan pasokan tersebut dalam konteks permintaan global yang diprediksi tidak tumbuh secepat perkiraan sebelumnya.

Pengaruh Geopolitik dan Ekonomi AS

Kebijakan perdagangan Presiden Trump juga dinilai memperbesar ketidakpastian di pasar energi. Trump kembali mengumumkan tarif baru terhadap produk asal Tiongkok dan Meksiko, yang dinilai sebagai langkah lanjutan dalam strategi proteksionis untuk memperkuat industri dalam negeri Amerika.

“Ini bukan hanya soal tarif, tetapi bagaimana keputusan ini menciptakan ketidakpastian global. Investor cenderung menarik diri dari aset berisiko, termasuk komoditas seperti minyak,” kata James Davis, ekonom dari Goldman Sachs, dikutip dari Bloomberg.

Langkah proteksionis ini dikhawatirkan akan mengurangi aktivitas ekspor-impor global, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan permintaan energi secara keseluruhan.

Dampak ke Pasar Domestik dan Konsumen

Di Indonesia, pelemahan harga minyak dunia bisa memberikan dua dampak berbeda. Di satu sisi, harga minyak mentah yang lebih rendah dapat mengurangi tekanan fiskal terhadap APBN, khususnya dalam pembiayaan subsidi energi. Namun, fluktuasi tajam dalam harga minyak juga dapat menciptakan ketidakpastian bagi sektor industri, khususnya pelaku usaha yang sangat tergantung pada harga energi.

“Penurunan harga minyak bisa menjadi peluang bagi pemerintah untuk mengatur ulang kebijakan subsidi BBM. Tapi perlu disikapi hati-hati karena gejolak pasar bisa berubah cepat,” ujar ekonom energi dari INDEF, Eko Listiyanto.

Sementara itu, pelaku pasar dan masyarakat diminta untuk tetap waspada terhadap kemungkinan lonjakan harga mendadak, mengingat dinamika geopolitik dan kebijakan produksi minyak global sangat fluktuatif.

Outlook Harga Minyak dan Sikap Investor

Sebagian analis memprediksi harga minyak masih akan mengalami volatilitas dalam beberapa minggu ke depan. Pasar masih menunggu kepastian dari langkah lanjutan OPEC+, perkembangan kebijakan dagang AS, serta data ekonomi utama dari negara konsumen energi seperti Tiongkok dan India.

“Jika ketegangan dagang meningkat dan OPEC+ terus menambah pasokan, bukan tidak mungkin harga minyak akan kembali ke kisaran US$60 per barel,” kata analis komoditas dari JP Morgan, Natasha Singh.

Namun demikian, sebagian pelaku pasar juga menilai koreksi saat ini bersifat sementara. Ketika pasar mulai menyesuaikan diri dengan pasokan tambahan dan kebijakan dagang yang baru, permintaan diperkirakan akan kembali pulih, terutama menjelang musim panas di belahan bumi utara.

“Pasar minyak memang sensitif terhadap berita-berita besar. Tapi tren jangka panjang tetap ditentukan oleh fundamental permintaan dan pasokan,” kata Singh.

Strategi Diversifikasi Energi

Melemahnya harga minyak juga menjadi sinyal bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk semakin mendorong transisi energi. Pemerintah Indonesia saat ini tengah menggalakkan program transisi energi menuju sumber energi terbarukan seperti PLTS, PLTB, dan bioenergi sebagai bagian dari strategi jangka panjang mengurangi ketergantungan terhadap minyak mentah.

“Fluktuasi harga minyak global menegaskan pentingnya diversifikasi energi nasional. Ketahanan energi harus dibangun di atas pondasi yang lebih beragam,” tegas Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI.

Secara keseluruhan, pelemahan harga minyak pada Jumat pagi ini mencerminkan kombinasi dari tekanan geopolitik, kebijakan dagang, dan keputusan strategis para produsen utama minyak dunia. Pasar masih akan bergerak dinamis dalam beberapa waktu ke depan, dan pelaku usaha diimbau untuk terus mencermati perkembangan global demi mengambil keputusan yang tepat.

Harga WTI berada di posisi US$66,76 per barel pada Jumat pagi 4 April 2025, namun ketidakpastian global membuat arah harga dalam jangka pendek sulit diprediksi.

Terkini