JAKARTA - Pemerintah terus memperkuat upaya peningkatan penerimaan pajak nasional dengan menggenjot implementasi digitalisasi di sektor transaksi keuangan. Salah satu langkah strategis yang tengah didorong adalah pembatasan penggunaan transaksi tunai guna memperluas basis data perpajakan dan meminimalkan potensi kebocoran penerimaan negara.
Kebijakan ini sejalan dengan rekomendasi berbagai pihak, termasuk pakar perpajakan, yang menilai bahwa pembatasan transaksi tunai merupakan langkah penting dalam mewujudkan sistem perpajakan yang lebih transparan, adil, dan berbasis data.
Erly Witoyo menyebut pembatasan transaksi tunai dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mendukung transparansi transaksi serta mendeteksi aktivitas ekonomi yang selama ini belum tercatat dalam sistem perpajakan formal.
“Pembatasan transaksi tunai menjadi penting untuk memperluas basis data perpajakan. Semakin tinggi penggunaan instrumen non-tunai, maka makin besar pula peluang bagi otoritas pajak untuk mengetahui aktivitas ekonomi wajib pajak secara lebih akurat,” ujar Erly
Transaksi Tunai Picu Potensi Penghindaran Pajak
Transaksi yang dilakukan secara tunai selama ini menjadi tantangan dalam pengawasan fiskal. Karena tidak tercatat secara digital, aktivitas tersebut berisiko digunakan untuk praktik penghindaran pajak, penggelapan, dan transaksi ilegal lainnya yang sulit dilacak oleh aparat perpajakan.
Menurut Erly, banyak negara telah menerapkan batas maksimal transaksi tunai untuk menekan praktik ekonomi bawah tanah (underground economy). Di Eropa misalnya, sejumlah negara telah menetapkan batas transaksi tunai antara 1.000 hingga 3.000 euro. Langkah serupa dinilai relevan diterapkan di Indonesia.
“Penggunaan transaksi tunai yang tidak terbatas berpotensi besar digunakan untuk menghindari kewajiban perpajakan. Oleh sebab itu, kebijakan pembatasan ini penting untuk segera dikaji dan diadopsi dalam sistem perpajakan nasional,” tambah Erly.
Dorong Percepatan Digitalisasi Sistem Pembayaran
Pemerintah Indonesia sejatinya telah menunjukkan komitmen dalam mendorong digitalisasi sistem pembayaran, termasuk melalui program Sistem Pembayaran Nasional (SPN) yang digagas oleh Bank Indonesia (BI). Selain itu, keberadaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) juga menjadi motor penggerak transformasi digital dalam transaksi harian masyarakat.
Dengan adopsi digitalisasi transaksi yang semakin luas, otoritas fiskal akan memiliki data yang lebih kaya untuk menganalisis perilaku ekonomi dan memperkirakan potensi penerimaan pajak secara lebih akurat.
Menurut Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa digitalisasi menjadi kunci dalam membangun sistem perpajakan modern yang berbasis data. Ia menegaskan pentingnya penguatan sinergi antarinstansi seperti Ditjen Pajak, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan dalam ekosistem digital.
“Kita membangun administrasi perpajakan berbasis data. Jadi, bagaimana data menjadi pusat dari semua kebijakan dan pengawasan yang kita lakukan, termasuk dengan memanfaatkan transaksi non-tunai yang terintegrasi,” ujar Suryo dalam sebuah diskusi kebijakan fiskal.
Mendukung Kepatuhan Pajak Sukarela
Selain berdampak pada peningkatan penerimaan pajak, digitalisasi transaksi juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan sukarela (voluntary compliance) dari para wajib pajak. Dengan sistem yang lebih terbuka dan akuntabel, masyarakat dapat memahami bahwa kewajiban pajak merupakan bagian dari kontribusi terhadap pembangunan negara.
Erly Witoyo menambahkan bahwa sistem berbasis digital akan menciptakan rasa keadilan karena memungkinkan pengawasan yang lebih merata terhadap semua sektor ekonomi, termasuk pelaku UMKM dan sektor informal.
“Dengan data digital yang komprehensif, pemerintah bisa menerapkan pajak secara adil dan merata. Ini akan mendorong kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan dan meningkatkan kepatuhan secara sukarela,” katanya.
Pengawasan Pajak Berbasis Risiko Jadi Lebih Efektif
Dalam konteks pengawasan, data digital juga memungkinkan Ditjen Pajak menerapkan metode risk-based audit, yaitu pengawasan yang berfokus pada wajib pajak dengan potensi risiko tinggi terhadap ketidakpatuhan. Dengan pendekatan ini, sumber daya pengawasan dapat digunakan lebih efisien dan tepat sasaran.
Sistem ini secara bertahap sudah diterapkan dalam reformasi administrasi perpajakan melalui core tax administration system yang tengah dikembangkan pemerintah. Data dari transaksi non-tunai akan menjadi elemen penting dalam penguatan sistem ini.
Pembatasan Tunai: Bukan Sekadar Regulasi, Tapi Budaya Baru
Untuk mewujudkan kebijakan pembatasan transaksi tunai, diperlukan dukungan regulasi sekaligus perubahan budaya masyarakat dalam bertransaksi. Pemerintah perlu menggandeng pelaku usaha, perbankan, serta platform digital agar masyarakat terbiasa menggunakan kanal pembayaran non-tunai dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut data Bank Indonesia, volume transaksi digital terus mengalami pertumbuhan pesat dalam lima tahun terakhir. Namun, transaksi tunai masih mendominasi di beberapa sektor, terutama perdagangan kecil dan pasar tradisional. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah untuk melakukan edukasi dan sosialisasi lebih luas.
Upaya Global: Indonesia Tidak Sendiri
Langkah Indonesia dalam membatasi transaksi tunai sejalan dengan tren global. Organisasi internasional seperti OECD dan IMF juga mendorong negara-negara anggotanya untuk memperluas digitalisasi ekonomi guna mengatasi praktik penghindaran pajak dan meningkatkan kapasitas fiskal.
Beberapa negara seperti Prancis, Italia, dan India telah membuktikan bahwa pembatasan tunai, jika disertai dengan sistem digital yang inklusif, dapat menekan ekonomi gelap dan meningkatkan pendapatan negara.
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi besar dan ekosistem digital yang berkembang cepat, memiliki potensi besar untuk menerapkan kebijakan serupa secara bertahap dan terukur.