Jakarta - Bursa saham Jepang mengalami tekanan hebat pada awal pekan ini. Indeks acuan Nikkei 225 jatuh hampir 9 persen pada perdagangan Senin Senin, 7 April 2025, menyusul kekhawatiran mendalam investor terhadap potensi resesi global akibat gejolak tarif dan ketidakpastian ekonomi dunia.
Nikkei tercatat anjlok 8,8 persen hingga menyentuh level 30.792,74, yang merupakan posisi terendah sejak Oktober 2023. Hingga pukul 00.34 GMT, indeks tersebut masih berada dalam tren penurunan dengan posisi di 31.318,79, atau melemah sekitar 7,3 persen, Senin, 7 April 2025.
Seluruh saham yang tergabung dalam indeks Nikkei — sebanyak 225 saham — tercatat berada di zona merah, mencerminkan kepanikan pasar yang merata di berbagai sektor.
Tak hanya Nikkei, indeks Topix, yang mencerminkan pergerakan harga saham lebih luas di Bursa Tokyo, juga jatuh tajam. Topix terkoreksi 8 persen menjadi 2.284,69, memperlihatkan tekanan jual meluas di kalangan investor.
Sektor Perbankan Jadi Korban Terbesar
Pukulan terparah dirasakan sektor perbankan. Indeks Topix Bank, yang mewakili kinerja saham-saham perbankan Jepang, merosot hingga 17,3 persen, sebelum akhirnya ditutup melemah 13,2 persen. Dalam tiga sesi perdagangan terakhir, sektor ini telah mencatat penurunan akumulatif sekitar 30 persen, menjadikannya salah satu sektor paling terpukul.
“Penurunan drastis ini menandakan adanya krisis kepercayaan di sektor perbankan, terutama karena ekspektasi pasar terhadap pelemahan margin keuntungan dan potensi kenaikan gagal bayar akibat tekanan ekonomi global yang makin intens,” kata Hiroshi Nakamura, analis senior di Nomura Securities, seperti dikutip dalam laporan keuangan mingguan perusahaan.
Menurut Nakamura, pasar bereaksi terhadap kombinasi faktor: dari ketidakpastian kebijakan moneter Amerika Serikat dan Eropa, melemahnya permintaan ekspor Jepang, hingga meningkatnya kekhawatiran bahwa kebijakan tarif perdagangan akan berdampak sistemik terhadap rantai pasokan global.
Dampak Global Terhadap Sentimen Pasar Jepang
Ketegangan geopolitik, terutama konflik yang belum mereda antara beberapa negara besar dunia serta ketidakpastian arah kebijakan Federal Reserve Amerika Serikat, turut memberikan dampak negatif terhadap sentimen pelaku pasar di Asia.
“Investor global tengah melakukan aksi jual agresif untuk menghindari risiko, dan pasar Jepang saat ini menjadi salah satu titik pelampiasan aksi tersebut. Ketidakpastian arah ekonomi dunia memberikan tekanan tambahan terhadap saham-saham siklikal dan finansial,” jelas Kazuo Takahashi, kepala riset pasar di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley.
Takahashi juga menambahkan bahwa penurunan di sektor perbankan mencerminkan kekhawatiran terhadap penurunan likuiditas dan kemungkinan turunnya permintaan kredit jika perekonomian memasuki resesi.
Tekanan Lanjutan Bisa Berimbas ke Asia
Dengan anjloknya indeks Nikkei dan Topix, analis memprediksi bahwa tekanan jual ini bisa merembet ke pasar saham Asia lainnya. Saham-saham perbankan di Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong disebut-sebut juga berpotensi mengalami tekanan serupa, terutama jika sentimen negatif global terus berlanjut.
“Ini bukan hanya masalah Jepang. Ini tentang bagaimana pasar global merespons ketidakpastian ekonomi makro secara umum. Jepang saat ini hanya menjadi indikator awal dari kepanikan yang lebih luas,” kata Ayaka Fujimoto, analis ekonomi makro dari Daiwa Capital Markets.
Otoritas Keuangan Diminta Bertindak
Melihat kondisi ini, para analis menyerukan agar Bank of Japan (BoJ) segera merespons dengan pernyataan atau kebijakan penstabil, seperti intervensi pasar atau penyesuaian suku bunga.
“Saat ini, intervensi dari bank sentral sangat dibutuhkan untuk menenangkan pasar. Jika dibiarkan berlarut, bukan tidak mungkin kita akan melihat penurunan dua digit secara permanen dalam waktu dekat,” tambah Fujimoto.