Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyatakan kesiapan menghadapi dampak dari kebijakan tarif resiprokal terbaru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Kebijakan tersebut menetapkan tarif impor hingga 42 persen untuk produk asal Indonesia, yang menimbulkan kekhawatiran di pasar keuangan global dan domestik, Sabtu, 5 April 2025.
Presiden Trump secara resmi mengumumkan kebijakan tarif baru pada Rabu, 2 April 2025. Dalam kebijakan tersebut, AS memberlakukan tarif dasar sebesar 10 persen ditambah tarif tambahan 32 persen khusus untuk Indonesia. Ini menjadikan total tarif impor terhadap produk Indonesia mencapai 42 persen — salah satu yang tertinggi dibandingkan negara lain. Sebagai perbandingan, negara seperti Inggris, Brasil, Australia, dan Singapura hanya dikenai tarif tambahan sebesar 10 persen.
Dampak Langsung di Pasar Keuangan
Menanggapi langkah ini, Bank Indonesia menegaskan akan terus memantau dinamika pasar keuangan global serta menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso, mengatakan pihaknya siap mengantisipasi gejolak yang mungkin terjadi sebagai dampak dari kebijakan tarif tersebut.
“Pasca pengumuman tersebut dan kemudian disusul oleh pengumuman retaliasi tarif oleh China pada 4 April 2025, pasar bergerak dinamis, di mana pasar saham global mengalami pelemahan dan yield US Treasury mengalami penurunan hingga jatuh ke level terendah sejak Oktober 2024,” ujar Ramdan dalam keterangan tertulis kepada media, Sabtu, 5 April 2025.
Ia menambahkan, BI tetap berkomitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui strategi triple intervention yang selama ini telah dijalankan.
“BI terus melakukan optimalisasi intervensi di pasar valas baik pada transaksi spot maupun DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward), serta di pasar sekunder SBN. Tujuannya adalah memastikan kecukupan likuiditas valas bagi perbankan dan pelaku usaha, serta menjaga kepercayaan pelaku pasar,” jelas Ramdan.
Respon Dunia Internasional
Kebijakan proteksionis terbaru dari AS ini tak hanya berdampak pada Indonesia. Tiongkok, sebagai mitra dagang utama AS, langsung merespons dengan mengenakan tarif balasan terhadap produk-produk asal Amerika pada 4 April 2025. Hal ini memicu kekhawatiran akan terjadinya eskalasi perang dagang jilid baru antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.
Investor global merespons dengan aksi jual di pasar saham, yang menyebabkan indeks-indeks utama dunia melemah tajam. Di sisi lain, imbal hasil obligasi pemerintah AS (US Treasury) juga menurun drastis karena investor mencari aset yang lebih aman.
Dampak Terhadap Ekonomi Domestik
Pengenaan tarif sebesar 42 persen oleh AS terhadap produk asal Indonesia diperkirakan akan berdampak langsung terhadap sektor ekspor nasional. Produk-produk unggulan seperti tekstil, alas kaki, elektronik, serta produk agrikultur kemungkinan besar akan mengalami tekanan akibat kehilangan daya saing harga di pasar AS.
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Rini Kartika, menilai kebijakan ini dapat mengganggu kinerja neraca perdagangan Indonesia.
“Dengan tingginya tarif yang dikenakan, eksportir akan kesulitan bersaing dari sisi harga. Ini bisa memicu penurunan volume ekspor ke AS, yang selama ini merupakan pasar utama bagi sejumlah komoditas Indonesia,” ujar Rini saat dihubungi secara terpisah.
Langkah Strategis Pemerintah dan BI
Selain menjaga stabilitas nilai tukar, pemerintah Indonesia disebut tengah menyiapkan langkah strategis untuk menjaga kinerja ekspor dan meminimalkan dampak kebijakan AS terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
“Koordinasi antarotoritas fiskal dan moneter akan terus diperkuat untuk memastikan respons kebijakan yang tepat dan terukur,” tambah Ramdan.