Nasional

Perubahan Iklim Ancam Ketahanan Pangan Nasional: Musim Tanam Bergeser, Risiko Gagal Panen Meningkat

Perubahan Iklim Ancam Ketahanan Pangan Nasional: Musim Tanam Bergeser, Risiko Gagal Panen Meningkat
Perubahan Iklim Ancam Ketahanan Pangan Nasional: Musim Tanam Bergeser, Risiko Gagal Panen Meningkat

JAKARTA - Indonesia menghadapi tantangan serius terhadap ketahanan pangan nasional seiring dengan meningkatnya dampak perubahan iklim. Pergeseran musim tanam dan panen akibat ketidakpastian cuaca menjadi ancaman nyata terhadap produktivitas sektor pertanian, yang selama ini menjadi tulang punggung penyediaan pangan nasional.

Perubahan iklim yang ditandai dengan kenaikan suhu global, curah hujan tidak menentu, serta intensitas bencana alam yang meningkat telah mempengaruhi ekosistem pertanian. Di sejumlah wilayah Indonesia, masa tanam yang biasanya stabil kini bergeser sehingga menyulitkan petani dalam menentukan waktu yang tepat untuk mulai bercocok tanam.

Menurut laporan Kementerian Pertanian, perubahan pola musim yang ekstrem telah menyebabkan terjadinya penurunan hasil panen di beberapa sentra produksi utama. Hal ini terjadi karena tanaman tidak lagi dapat beradaptasi optimal terhadap kondisi iklim yang berubah-ubah.

"Petani kini menghadapi dilema yang berat. Jika mereka menanam terlalu awal, benih bisa rusak karena hujan yang belum turun. Namun jika menanam terlambat, mereka menghadapi risiko kekeringan," ujar Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Agus Supriyanto.

Pergeseran Musim dan Dampaknya

Perubahan iklim menyebabkan musim hujan dan kemarau bergeser dari pola tradisionalnya. Di beberapa daerah seperti Jawa Tengah dan Sumatera Selatan, musim hujan datang lebih lambat dan berhenti lebih cepat. Akibatnya, musim tanam yang bergantung pada air hujan menjadi tidak menentu.

Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), 40 persen wilayah Indonesia mengalami perubahan awal musim tanam dibandingkan rata-rata periode 30 tahun terakhir. Di beberapa lokasi, musim tanam mundur hingga lebih dari sebulan, mengganggu perencanaan rotasi tanaman.

"Kondisi ini menyebabkan tanaman tidak mendapatkan air dalam jumlah cukup pada fase pertumbuhan penting seperti pembentukan bunga dan biji, yang berdampak pada menurunnya produktivitas," jelas Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati.

Gagal Panen Mengancam Produksi Nasional

Kementerian Pertanian mencatat adanya peningkatan kasus gagal panen akibat banjir dan kekeringan dalam lima tahun terakhir. Di tahun 2024, sekitar 120 ribu hektare lahan sawah mengalami puso (gagal panen total), naik 15 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini berdampak langsung pada stok pangan nasional, terutama beras yang menjadi makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia.

"Kami telah menyiapkan langkah mitigasi, seperti percepatan tanam dan penggunaan varietas unggul tahan iklim. Namun perubahan iklim yang semakin ekstrem menuntut respons yang lebih strategis dan sistematis," ujar Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, dalam konferensi pers di Jakarta.

Salah satu strategi yang tengah didorong adalah perluasan irigasi dan pembangunan embung untuk menjaga ketersediaan air selama musim kering. Pemerintah juga mendorong diversifikasi pangan sebagai upaya menekan ketergantungan terhadap satu komoditas utama seperti beras.

Ketahanan Pangan dalam Tekanan

Ketahanan pangan merupakan salah satu indikator utama kesejahteraan dan stabilitas nasional. Namun, perubahan iklim kini mengancam fondasi utama ketahanan ini, yakni ketersediaan, akses, dan stabilitas pasokan pangan. Dengan produksi pangan domestik yang menurun, Indonesia berisiko harus meningkatkan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Kondisi ini tentu memunculkan risiko baru: ketergantungan pada pasar global yang rentan terhadap fluktuasi harga dan kebijakan negara pemasok. "Jika kita tidak segera memperkuat sistem pangan nasional, kita akan semakin bergantung pada impor, dan itu berbahaya untuk jangka panjang," kata ekonom pertanian dari IPB University, Prof. Dwi Andreas Santosa.

Menurutnya, sistem pertanian Indonesia saat ini belum cukup tangguh dalam menghadapi perubahan iklim karena masih bergantung pada cuaca. Padahal, negara-negara lain telah mulai mengadopsi teknologi pertanian presisi dan sistem informasi iklim yang lebih adaptif.

Perlu Aksi Konkret dan Kolaborasi

Perubahan iklim bukan hanya isu lingkungan, melainkan masalah pembangunan yang berdampak luas terhadap ekonomi, sosial, dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, upaya menjaga ketahanan pangan tidak bisa dilakukan secara sektoral, melainkan memerlukan kolaborasi lintas kementerian dan pihak swasta.

"Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan peran aktif sektor swasta, akademisi, dan masyarakat dalam membangun sistem pertanian yang tangguh terhadap perubahan iklim," tegas Agus Supriyanto.

Beberapa program telah digulirkan, antara lain Program Food Estate di berbagai provinsi, penggunaan alat dan mesin pertanian modern, serta edukasi kepada petani tentang adaptasi iklim.

Selain itu, penting juga memperkuat sistem peringatan dini untuk menghadapi cuaca ekstrem serta memperluas jangkauan asuransi pertanian guna melindungi petani dari risiko gagal panen.

Harapan Petani dan Tindakan Nyata

Di sisi lain, petani sebagai garda terdepan produksi pangan berharap ada dukungan nyata dari pemerintah untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. Sutrisno, seorang petani padi asal Kabupaten Brebes, mengaku kesulitan menentukan waktu tanam yang tepat karena cuaca tidak menentu.

"Dulu bisa tanam dua kali, sekarang kadang hanya sekali karena banjir dan kemarau panjang datang tak menentu. Kami butuh informasi iklim yang akurat dan bantuan pupuk yang tepat waktu," ungkapnya.

Situasi ini menggambarkan bahwa adaptasi iklim bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Perubahan pola tanam, teknologi tahan iklim, dan sistem logistik yang efisien harus menjadi prioritas untuk menyelamatkan ketahanan pangan Indonesia dari ancaman perubahan iklim.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index