JAKARTA – Perhatian publik tertuju pada wacana baru dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait pembatasan produksi nikel. Rencana ambisius ini melibatkan pemangkasan kuota produksi nikel secara drastis dari 272 juta ton menjadi 150 juta ton mulai tahun depan. Tujuan utamanya adalah untuk mendorong harga nikel yang anjlok drastis di pasar global. Namun, apakah langkah ini benar-benar dapat memulihkan pasar yang lesu?
Yayan Satyakti, seorang pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran, menegaskan pentingnya pembatasan ini. "Jadi penting membatasi nikel untuk meningkatkan harga nikel," ungkapnya dalam sebuah pernyataan. Yayan berpendapat bahwa produksi nikel Indonesia yang berlebihan, dengan kontribusi lebih dari separuh produksi nikel dunia, adalah salah satu faktor utama penurunan harga global. Menurut data yang dikumpulkan, ada kelebihan pasokan (oversupply) sebesar 253.000 ton di pasar global pada tahun ini.
Produksi nikel Indonesia yang sangat besar, meningkat dari 24,7% dari 307.000 ton menjadi 383.000 ton secara tahunan, telah membuat banyak produsen di negara lain kesulitan bersaing, bahkan menghentikan operasi mereka. "Sedangkan menurut prediksi pasar global seperti Fitch, produksi global nikel idealnya di angka 17% pada tahun 2024 ini," jelas Yayan.
Namun, tidak semua pihak sepenuhnya setuju dengan pendekatan pembatasan produksi. Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menekankan bahwa keputusan tersebut perlu kajian mendalam. "Pembatasan ini sesuai dengan rencana perusahaan, mereka akan menyampaikan RKAB, itu sesuai RKAB mereka, pasok ke mana. Jadi justru ini yang akan kami lihat lebih dahulu," ujarnya di Medan, Sumatra Utara, hari Senin yang sama.
Lebih jauh lagi, Yuliot memastikan bahwa pemerintah tetap berkomitmen pada program hilirisasi nikel untuk memperkuat nilai tambah di dalam negeri. "Program hilirisasi untuk memberikan nilai tambah dalam negeri itu tetap akan berjalan. Jadi nanti untuk nikel kita harus lihat hilirisasinya sejauh mana dan manfaat bagi industri, termasuk rantai pasok yang ada harus mencukupi," jelas Yuliot.
Langkah hilirisasi ini, walaupun sudah lama digaungkan, masih belum memberikan dampak sebesar yang diharapkan. Yayan menyoroti bahwa multiplier effect dari output nikel hanya mencapai 1,09 kali, yang berarti kemampuan industri nikel dalam mengolah dari tahap midstream ke downstream hanya meningkat sebesar 9%. Angka ini dianggapnya sangat kecil dan memerlukan perhatian serius jika Indonesia ingin meningkatkan daya saing di pasar global.
Harga nikel telah mengalami penurunan drastis sebesar 45% pada tahun 2023 dan belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan signifikan. Situasi ini memaksa para investor dan pelaku industri untuk berpikir ulang tentang strategi pengelolaan sumber daya alam yang lestari namun menguntungkan.
Sementara itu, tantangan terbesar bagi pemerintah adalah menyeimbangkan antara memaksimalkan keuntungan ekonomi dari nikel dan mengatur pasokan secara cermat agar tidak berimbas negatif pada industri domestik. Kesalahan dalam memperkirakan kebutuhan pasar bisa berakibat pada hilangnya potensi pendapatan sekaligus menurunkan daya saing internasional.
Ke depan, keputusan untuk membatasi produksi nikel harus diambil dengan pertimbangan matang oleh semua pemangku kepentingan. Penting bagi Indonesia untuk tidak hanya fokus pada kuantitas tetapi juga kualitas dalam mengelola sumber daya alamnya, demi keberlangsungan dan kemakmuran ekonomi nasional.
Dengan latar belakang dinamika pasar global dan kepentingan nasional yang kompleks, langkah pembatasan produksi nikel ini menjadi semakin krusial. Akankah strategi ini dapat membawa angin segar bagi industri nikel Indonesia? Ataukah justru akan menambah tantangan baru dalam pengelolaannya? Waktu dan kebijakan yang bijaksana akan menjadi penentu jawabannya.