Transportasi

Elektrifikasi Transportasi: Strategi Utama menuju Target Net Zero Emission 2060 di Indonesia

Elektrifikasi Transportasi: Strategi Utama menuju Target Net Zero Emission 2060 di Indonesia
Elektrifikasi Transportasi: Strategi Utama menuju Target Net Zero Emission 2060 di Indonesia

JAKARTA - Transisi menuju energi baru dan terbarukan (EBT) terus menjadi fokus utama dalam agenda energi nasional Indonesia. Salah satu komponen kunci dalam transisi ini adalah sektor transportasi. Menurut laporan terbaru dari Institute for Essential Services Reform (IESR), percepatan elektrifikasi transportasi menawarkan peluang signifikan untuk mencapai target net zero emission pada tahun 2060.

Dalam wawancaranya, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menekankan perlunya pembangunan pembangkit energi terbarukan secara masif sebagai bagian dari strategi transisi energi. “Setidaknya, pembangkit energi dengan kapasitas 7 gigawatt harus dibangun hingga 2030,” ujar Fabby. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab untuk pembangunan ini sebagian besar ada di tangan PLN sebagai entitas yang mengorganisir pembangunan infrastruktur energi.

Fabby menyoroti potensi sektor transportasi dalam mendukung transisi energi ini. Elektrifikasi kendaraan seperti sepeda motor, mobil, dan bus di berbagai kota menunjukkan perkembangan yang menjanjikan. “Ini yang masih bisa diakselerasi menurut saya. Selain kendaraan listrik, kita lihat juga di transportasi hybrid,” tambah Fabby. Meskipun kendaraan hybrid masih menggunakan bahan bakar minyak, mereka tetap memberikan kontribusi dalam mengurangi emisi dan konsumsi bahan bakar fosil.

Beralihnya sistem transportasi dari penggunaan bahan bakar fosil ke energi listrik dinilai dapat memangkas emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengurangi polusi udara secara signifikan. Selain itu, elektrifikasi transportasi dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menurunkan biaya operasional.

Namun, data terbaru menunjukkan bahwa transisi energi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Hingga tahun ini, bauran energi terbarukan hanya mencapai sekitar 14 persen, jauh dari target pemerintah sebesar 23 persen pada 2025. “Masih ada kekurangan kira-kira 6-7 persen dari target yang seharusnya kita capai pada 2024,” ungkap Fabby.

Ketergantungan pada energi fosil, terutama batubara, menjadi kendala utama dalam transisi ini. “Kontribusi bauran energi fosil melalui batubara justru meningkat sampai 67-68 persen pada 2024, dari tahun 2023 sebesar 64-65 persen,” papar Fabby. Hal ini meningkatkan biaya transisi energi dan menurunkan daya saing Indonesia dalam pasar internasional, terutama di sektor manufaktur. Investor potensial mungkin akan ragu untuk berinvestasi apabila biaya produksi lebih tinggi dan akses ke energi bersih sulit didapatkan.

Melihat tantangan dan potensi yang ada, percepatan transisi energi, terutama dalam sektor transportasi, sangat diperlukan. Langkah-langkah strategis serta dukungan kebijakan harus segera diterapkan untuk mendukung elektrifikasi transportasi. Hal ini termasuk stimulasi pasar kendaraan listrik, pengembangan infrastruktur pendukung seperti stasiun pengisian daya listrik, dan insentif bagi sektor industri yang beralih ke teknologi hijau.

Selain itu, pemerintah dan pihak terkait harus bekerja sama untuk mengatasi tantangan ketergantungan pada batubara. Indonesia perlu mendorong diversifikasi sumber energi dan investasi dalam teknologi inovatif untuk mencapai target energi terbarukan. Pemanfaatan potensi energi surya, angin, dan panas bumi harus lebih dioptimalkan sebagai bagian dari strategi jangka panjang.

Dengan kerja sama yang terarah antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, pencapaian target net zero emission pada 2060 bukanlah hal yang mustahil. Elektrifikasi transportasi bukan hanya menjadi solusi dalam transisi energi, tetapi juga langkah penting menuju masa depan keberlanjutan yang lebih stabil dan bersih untuk Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index