Pasar batu bara global diproyeksikan akan mengalami tekanan signifikan di tahun 2025, baik dari aspek harga maupun permintaan. Pada hari Kamis, 26 Desember 2024, sejumlah analis menyoroti faktor transisi energi, dinamika geopolitik, serta perubahan kebijakan di berbagai negara sebagai elemen utama yang akan membentuk prospek sektor ini.
Sepanjang tahun 2024, harga kontrak berjangka batu bara Newcastle mencatat penurunan sebesar 8,73 persen sepanjang tahun berjalan (year to date), dengan harga mencapai 125 dolar AS (sekitar Rp2 juta) per ton di penghujung tahun. Salah satu penyebab utama dari penurunan ini adalah lemahnya permintaan dari Tiongkok yang terimbas oleh perlambatan ekonomi dan sektor manufaktur. Selain itu, langkah Eropa yang beralih ke energi terbarukan turut memberikan dampak signifikan terhadap pasar batu bara.
"Perubahan arah kebijakan energi di Eropa memperlihatkan komitmen serius dalam pengurangan emisi karbon, yang secara langsung mengurangi ketergantungan pada batu bara," ungkap seorang analis energi terkemuka. Selain itu, upaya India dalam mengembangkan energi terbarukan turut memberikan tekanan pada penurunan konsumsi batu bara.
Di sisi lain, peningkatan produksi domestik di Tiongkok telah memperpuruk kondisi kelebihan pasokan batu bara global. Di kawasan Barat, pelemahan aktivitas industri di Amerika Serikat dan Eropa semakin mengurangi permintaan global terhadap batu bara.
Menurut riset yang dipublikasikan oleh RHB Sekuritas pada 20 Desember 2024, harga batu bara acuan diperkirakan akan menurun menjadi 120 dolar AS (sekitar Rp1,9 juta) per ton pada tahun 2025, lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi harga tahun 2024 yang sebesar 135 dolar AS (sekitar Rp2,1 juta) per ton. Walaupun demikian, margin keuntungan perusahaan tambang diprediksi tetap bertahan sebab permintaan batu bara global masih diharapkan stabil, didukung oleh kebutuhan dari India dan negara-negara di wilayah ASEAN.
Namun demikian, masuknya suplai dari sumber energi alternatif, seperti gas alam, diprediksi akan memberikan tekanan tambahan terhadap harga batu bara. Dalam laporan Market Outlook 2025 yang diterbitkan oleh OCBC Sekuritas, penurunan global dalam permintaan batu bara sebesar 0,3 persen pada tahun 2025 sudah diperkirakan, berdasarkan data dari International Energy Agency (IEA).
"India dan negara-negara ASEAN diharapkan menjadi penopang utama dalam konsumsi batu bara ditengah pelemahan permintaan dari Tiongkok dan negara maju lainnya," kata seorang ekonom senior kepada wartawan.
Sementara itu, Australia telah berencana untuk memangkas ekspor batu bara termal dan metalurgi pada periode 2025-2026, yang akan semakin memperketat pasokan di pasar global. Dengan kombinasi dari penawaran yang stagnan dan penurunan permintaan, harga batu bara Newcastle diproyeksikan akan berada di kisaran 100 hingga 110 dolar AS per ton, lebih rendah dibandingkan rata-rata harga 135,9 dolar AS per ton pada tahun 2024.
Secara keseluruhan, prospek pasar batu bara di tahun 2025 diwarnai oleh berbagai tantangan dari sektor transisi energi, dinamika geopolitik, serta perubahan kebijakan yang menitikberatkan pada pengembangan sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan. Situasi ini menuntut para pelaku industri untuk bergerak lebih dinamis dalam menyesuaikan strategi bisnisnya agar tetap bertahan di tengah perubahan lanskap energi global yang cepat. Sebagai langkah antisipasi, banyak perusahaan tambang tengah mempertimbangkan opsi diversifikasi portofolio bisnis mereka, guna mengakomodasi perubahan permintaan energi di masa depan.