Properti

PPN 12 Persen dan Suku Bunga Tinggi: Tantangan bagi Saham Properti di Tahun 2025

PPN 12 Persen dan Suku Bunga Tinggi: Tantangan bagi Saham Properti di Tahun 2025
PPN 12% dan Suku Bunga Tinggi: Tantangan bagi Saham Properti di Tahun 2025

JAKARTA - Seiring dengan berlanjutnya insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) hingga tahun 2025, sektor properti berusaha untuk menjaga momentum pertumbuhannya. Namun, di tengah manfaat ini, risiko yang berasal dari suku bunga tinggi dan kebijakan pemerintah tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang meningkat menjadi 12% mulai Januari 2025, menciptakan tantangan baru bagi para pengembang dan investor properti.

Nafan Aji Gusta, Senior Market Analyst di Mirae Asset Sekuritas, mengutarakan keprihatinannya terhadap dampak dari tren suku bunga yang sedang berjalan. "Permintaan di sektor properti masih akan relatif agak lesu karena higher for longer," tutur Nafan. Dalam konteks ini, "higher for longer" merujuk pada ekspektasi pasar bahwa suku bunga tinggi akan bertahan lebih lama, melemahkan daya beli masyarakat dan menurunkan permintaan terhadap properti baru.

Selain itu, kebijakan PPN yang dinaikkan menjadi 12% diperkirakan akan menambah beban bagi konsumen yang ingin membeli properti. Langkah ini, meski diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara, juga dinilai berpotensi melemahkan daya beli masyarakat, khususnya di sektor properti.

Meskipun demikian, Muhammad Rudy Setiawan, analis dari MNC Sekuritas, tetap optimis tentang tren penjualan rumah tapak. Berdasarkan data statistik, kepemilikan rumah di Indonesia meningkat dari 80,1% pada tahun 2020 menjadi 84,8% pada tahun 2023, sementara tren sewa terus mengalami penurunan menjadi 5,1%. Berdasarkan tren ini, kredit perumahan pun mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 10,8% secara tahunan (YoY) hingga mencapai angka Rp738,1 triliun pada periode Januari hingga Agustus 2024.

Rudy mengatakan, "Kami memproyeksikan bahwa pengembang akan mampu mencapai pertumbuhan penjualan pemasaran lebih dari 5% di 2025, didukung oleh insentif pemerintah yang dikombinasikan dengan penawaran promosi dari pengembang yang ditujukan untuk menarik minat konsumen." Pernyataan ini mencerminkan keyakinan bahwa insentif pemerintah dan penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia menjadi katalis positif bagi pengembang properti dan konsumen di masa mendatang.

Suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia juga mengalami penurunan sebesar 25 basis poin menjadi 6% pada kuartal ketiga 2024 dan diprediksi akan terus turun hingga 5% pada 2025. Hal ini diharapkan mendukung sektor properti dengan memperlancar pembiayaan dan meningkatkan daya beli masyarakat. Menurut Rudy, 72,9% pendanaan proyek pengembang berasal dari dana internal, sementara 75,5% konsumen memanfaatkan fasilitas hipotek untuk kepemilikan properti.

Di balik perkembangan positif ini, pemerintah juga bertujuan untuk mengatasi kekurangan perumahan atau "backlog" hingga mencapai "nol backlog" pada tahun 2045. Dengan kekurangan mencapai 10 juta unit pada tahun anggaran 2023, upaya pemerintah untuk memperpanjang PPN 100% DTP hingga 2025 serta penghapusan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diharapkan dapat memacu kemampuan beli masyarakat.

Meski optimisme terasa, risiko tetap mengintai. Robin Sutanto dari Mandiri Sekuritas mengungkapkan, "Risiko penurunan sektor properti mungkin datang dari daya beli yang menurun yang menghentikan keputusan pembelian properti dan penghentian insentif pemerintah." Robin juga memprediksi bahwa pertumbuhan sektor perkantoran dan kondominium akan tetap lesu akibat oversupply dan keuntungan sewa yang kurang menjanjikan.

Sebagai solusi, PT Ciputra Development Tbk (CTRA) dianggap memiliki posisi kuat di sektor properti karena luasnya portofolio hunian tapaknya yang sesuai dengan permintaan pengguna akhir. PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), meskipun dihadapkan pada tantangan pasar, terus bertumbuh dengan dukungan dari ekspansi yang belum sepenuhnya terefleksi pada harga saham saat ini.

Di sisi lain, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) diuntungkan dengan stabilitas pra-penjualan dari proyek-proyek yang ada di sekitar Jakarta. Sementara itu, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) berencana menggelar Initial Public Offering (IPO) untuk unit investasi propertinya, yang dinilai dapat memberikan tambahan likuiditas untuk memperkokoh posisi bisnisnya.

Dalam menghadapi berbagai tantangan ini, baik dari kebijakan fiskal maupun moneter, para pelaku industri properti dituntut untuk lebih adaptif dan strategis. Optimisme untuk pertumbuhan sektor ini perlu diimbangi dengan kewaspadaan terhadap perubahan kondisi ekonomi makro yang bisa mempengaruhi daya beli dan keputusan investasi masyarakat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index