Pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah mengambil langkah strategis untuk memacu pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan tiga juta rumah per tahun bagi rakyat Indonesia. Inisiasi ambisius ini bertujuan tidak hanya untuk menambah pertumbuhan ekonomi dari sekitar 5% menjadi minimal 8%, tetapi juga untuk mengatasi masalah hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Program ini menargetkan pembangunan dua juta rumah di wilayah pedesaan dan satu juta apartemen di kawasan perkotaan.
Dalam menghadapi tantangan keterbatasan anggaran, Ketua Umum Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto, menekankan pentingnya "rekayasa" pembiayaan dalam proyek ini. "Pengentasan backlog rumah nasional tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara biasa. Oleh karena itu, perlu pendekatan yang tidak konvensional, terutama dengan sektor perumahan harus benar-benar diurus dan dijadikan program strategis pemerintah," jelas Joko. Ia juga menjelaskan perlunya memperluas sumber likuiditas perumahan dari dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), atau dana wakaf untuk mengurangi biaya pinjaman.
Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, turut menyoroti pentingnya inovasi pendanaan alternatif dan memastikan kepastian hukum atas lahan untuk program perumahan ini. "Diperlukan langkah-langkah preventif untuk memastikan status kepemilikan tanah yang digunakan tidak menimbulkan masalah hukum di masa mendatang," tambah Lasarus.
Rencana strategis ini mendapat dukungan solid dari Kementerian Keuangan. Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, mengungkapkan rencana meningkatkan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi 800.000 unit rumah pada 2025, dari sebelumnya 220.000 unit. "FLPP disukai oleh semua stakeholder perumahan karena kredit macetnya kecil dan kuotanya terbatas. Kita harus melanjutkan program yang bagus dari zaman sebelumnya," ujar Maruarar. Skema pendanaan akan diubah menjadi pembagian 50% dari APBN dan 50% dari perbankan untuk mengurangi dampak pengeluaran negara serta memperpanjang masa kredit menjadi 30 tahun supaya angsuran lebih terjangkau.
Peran utama dalam menyukseskan program ini dimainkan oleh sektor perbankan, terutama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN. Sebagai bank dengan pangsa pasar KPR terbesar di Indonesia, BTN sudah berpengalaman dalam mendukung program sejuta rumah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Direktur Utama BTN, Nixon LP Napitupulu, mengungkapkan bahwa pihaknya siap mendukung rencana pemerintah dengan menggalang lebih dari Rp70 triliun untuk menopang kenaikan kuota FLPP. "Kami menyambut baik peningkatan kuota KPR Subsidi dan sedang berdiskusi teknis pelaksanaannya. Kami berharap ini bisa menjadi keputusan presiden," kata Nixon.
Untuk mendanai kebijakan ini, selain mengandalkan dana pihak ketiga, BTN berencana menerbitkan obligasi dan mencari pinjaman dari luar negeri bernilai Rp10 triliun hingga Rp12 triliun. "Kami mengusulkan agar obligasi tersebut dapat dijamin pemerintah sehingga akan lebih murah dan besar," jelas Nixon sambil menambahkan bahwa pihaknya akan terus bekerjasama dengan investor luar negeri untuk mendukung program ini.
Nixon memperkirakan dana yang dibutuhkan untuk mewujudkan program tiga juta rumah mencapai Rp360 triliun per tahun. "Tidak mungkin hanya mengandalkan APBN. Oleh karena itu, harus ada alternatif pendanaan lain," tegas Nixon. Dia juga mendukung perubahan skema subsidi agar lebih terjangkau dengan jangka waktu lebih panjang, serta mengusulkan kebijakan pajak yang lebih ramah kepada konsumen perumahan.
Dalam segi penyediaan rumah, BTN menawarkan pendanaan kepada pengembang untuk konstruksi rumah serta memberikan kredit pada konsumen. Implementasi ini mencakup pembelian, pembangunan di lahan sendiri, dan renovasi rumah, dengan upaya edukasi kepada masyarakat bahwa kepemilikan rumah tidak selalu berarti rumah tapak tapi juga bisa dalam bentuk hunian vertikal. Pada akhirnya, keberhasilan program ini mengharuskan koordinasi dari berbagai pihak termasuk pemerintah, perbankan, dan lembaga finansial untuk memastikan pasokan dan permintaan perumahan berjalan harmonis dan berkesinambungan.