Energi

Perusahaan Energi Eropa Menunda Ekspansi Energi Bersih: Fokus Jangka Pendek pada Minyak dan Gas

Perusahaan Energi Eropa Menunda Ekspansi Energi Bersih: Fokus Jangka Pendek pada Minyak dan Gas
Perusahaan Energi Eropa Menunda Ekspansi Energi Bersih: Fokus Jangka Pendek pada Minyak dan Gas

Perubahan arah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan energi besar Eropa seperti BP, Shell, dan Equinor dalam beberapa tahun mendatang bisa mengganggu komitmen global terhadap transisi energi hijau. Perusahaan-perusahaan ini memilih untuk memprioritaskan keuntungan jangka pendek melalui investasi besar dalam sektor minyak dan gas, melambatkan atau bahkan membatalkan komitmen mereka terhadap energi bersih. Tren ini dipicu oleh ketidakpastian geopolitik dan ekonomi yang diperparah oleh invasi Rusia ke Ukraina, yang mengakibatkan kenaikan biaya energi secara signifikan.

Faktor-faktor Pemicu Pergeseran Strategi

Keputusan untuk memperlambat atau menangguhkan proyek energi bersih diambil di tengah situasi global yang mengalami ketidakstabilan. Peningkatan biaya energi setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 membuat pemerintah di seluruh dunia menunda peluncuran kebijakan energi bersih. "Gangguan geopolitik seperti invasi Ukraina telah melemahkan insentif CEO untuk memprioritaskan transisi rendah karbon di tengah harga minyak yang tinggi dan ekspektasi investor yang terus berkembang," kata Rohan Bowater, analis di Accela Research, kepada Reuters.

Tindakan ini menyebabkan perusahaan-perusahaan besar Eropa yang sebelumnya telah berinvestasi besar dalam transisi energi bersih mendapati kinerja saham mereka tertinggal dibandingkan dengan pesaingnya yang tetap fokus pada minyak dan gas seperti Exxon dan Chevron.

Langkah Strategis Perusahaan Energi Besar

BP, sebagai salah satu pemain besar di sektor ini, telah menargetkan peningkatan kapasitas energi terbarukan hingga 50 gigawatt dalam dekade ini. Namun, ambisi ini tampaknya tertunda. Pada Desember lalu, BP memutuskan untuk memisahkan hampir semua proyek angin lepas pantainya menjadi usaha patungan dengan JERA dari Jepang. Langkah ini menunjukkan pergeseran strategis yang lebih mengarah kepada proyek-proyek dengan margin keuntungan lebih tinggi.

Shell, yang pernah menyatakan diri sebagai kandidat perusahaan listrik terbesar di dunia, kini menghentikan investasi dalam proyek angin lepas pantai baru dan keluar dari pasar listrik di Eropa dan Tiongkok. Mereka juga melonggarkan target pengurangan karbon mereka. Meskipun demikian, Shell tetap menyatakan komitmennya terhadap emisi net zero pada tahun 2050 dan terus berinvestasi dalam transisi energi.

Equinor, perusahaan energi yang dikendalikan negara Norwegia, juga mengamati situasi tersebut dengan berhati-hati, memperlambat pengeluaran pada energi terbarukan. Dalam sebuah pernyataan, Equinor mengatakan, "Segmen angin lepas pantai telah melalui masa-masa sulit dalam beberapa tahun terakhir karena inflasi dan hambatan dalam rantai pasokan, dan Equinor akan terus selektif dan disiplin dalam pendekatan kami."

Dampak dan Prospek Masa Depan

Konsesus bahwa perusahaan-perusahaan energi besar Eropa mengurangi pengeluaran rendah karbon sebesar 8% pada tahun 2024 menjadi sinyal yang mengkhawatirkan bagi upaya mitigasi perubahan iklim global. Diperkirakan emisi karbon akan melonjak ke tingkat tertinggi baru pada 2024, beresiko membuat tahun tersebut sebagai tahun terhangat dalam sejarah pencatatan suhu global.

Konstelasi politik juga menambah ketidakpastian di sektor energi. Adanya kemungkinan kembalinya Donald Trump yang skeptis terhadap perubahan iklim ke Gedung Putih, dan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang bisa meningkatkan permintaan minyak, menambah faktor risiko bagi ketidakpastian ini. Di Eropa, ketegangan terus berlanjut dengan perang yang terjadi di Ukraina serta kekacauan politik di negara-negara seperti Jerman dan Prancis.

Situasi ini juga menambah tekanan pada konferensi iklim tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Baku, Azerbaijan, yang meskipun menghasilkan kesepakatan keuangan iklim global, tidak memenuhi harapan para pendukung lingkungan yang ingin pemerintah lebih tegas dalam menghentikan penggunaan minyak, gas, dan batu bara. Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, dalam konferensi tersebut bahkan memuji minyak dan gas sebagai "karunia dari Tuhan".

Keberlanjutan Lonjakan Permintaan Minyak dan Gas

Dengan kembali berorientasi pada minyak dan gas, perusahaan energi besar melihat peluang pada peningkatan permintaan global. Namun, mereka akan sangat awas terhadap kebijakan energi hijau Amerika Serikat, terutama apakah Trump akan benar-benar mencabut kebijakan energi hijau kunci yang digagas oleh Presiden Joe Biden. Jika ini terjadi, hal tersebut bisa berarti penurunan investasi dalam energi terbarukan yang dapat berdampak pada pasar energi global.

Ruang ini akan terus diawasi dengan ketat dalam konteks perubahan iklim yang semakin mendesak dan pergeseran geopolitik yang dinamis. Meskipun ada pernyataan positif dari Shell dan penegasan Equinor untuk terus berinvestasi dalam transisi energi, situasi ini menuntut tindakan aktif dari semua pemangku kepentingan agar tujuan global atas energi bersih tetap pada jalurnya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index