Harga batu bara global terus tertekan sejak Oktober 2024, mencatat penurunan yang signifikan pada Februari 2025. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran bagi pelaku industri, tetapi juga memicu serangkaian reaksi dan langkah kebijakan dari pemerintah Indonesia, sebagai eksportir terbesar batu bara thermal di dunia.
Menurut data dari Refinitiv, pada 3 Februari 2025, harga batu bara turun menjadi USD 118,8 per ton, mengalami penurunan 2,54% dibandingkan penutupan di Januari 2025 yang berkisar USD 121,9 per ton. Penurunan harga ini berlangsung meski pemerintah Indonesia mengancam akan menghentikan ekspor bagi pengusaha yang tidak mematuhi aturan yang ada.
Ancaman Kebijakan Pembatasan Ekspor
Kondisi ini ditanggapi serius oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Ia berusaha mengatasi fluktuasi harga batu bara dengan mewajibkan para eksportir menggunakan Harga Batu Bara Acuan (HBA) dalam penjualan internasional. “Saya umumkan hari ini tidak dalam waktu lama lagi, kami akan mempertimbangkan untuk membuat Keputusan Menteri agar harga HBA itulah yang dipakai untuk transaksi di pasar global,” ungkap Bahlil dalam Konferensi Pers Capaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2024.
Bahlil menegaskan bahwa kepatuhan terhadap HBA merupakan syarat mutlak, dan pelanggaran dapat berujung pada pencabutan izin ekspor. “Bila perlu, kalau tidak mau ya kita tidak usah izin ekspornya. Kira-kira begitu. Supaya masa harga batu bara di negara lain dengan negara kita dibuat kita lebih murah. Masa harga batu bara kita ditentukan oleh negara lain,” tegasnya.
Indonesia diketahui mengandalkan beberapa indeks, termasuk Indonesia Coal Index (ICI), dalam menentukan harga batu bara. Tahun lalu, Indonesia berhasil mengekspor sekitar 555 juta ton batu bara, yang mencatat kenaikan setiap tahun.
Pendorong Harga Batu Bara yang Terus Jeblok
Selain kebijakan di tingkat nasional, faktor global turut memainkan peran penting dalam menekan harga batu bara. Salah satunya adalah peningkatan pesat dalam penggunaan energi baru terbarukan (EBT), yang mengurangi permintaan terhadap batu bara sebagai sumber energi.
Inisiatif transisi energi dari sumber fosil ke energi terbarukan semakin menguat di banyak negara, termasuk AS. Di Colorado, misalnya, pemerintah mengumumkan dua hibah untuk mendukung komunitas dalam transisi dari kebergantungan pada batu bara, termasuk pemberian dana sebesar USD 1.051.000 kepada kota Craig untuk pengembangan kawasan bisnis dan industri baru yang berfokus pada energi terbarukan. “Colorado membantu komunitas berkembang dengan cara baru, menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi pekerja lokal, dan menghemat biaya bagi masyarakat. Kami berkomitmen membantu komunitas di Colorado Barat merencanakan masa depan,” ujar Gubernur Jared Polis.
Sementara itu, peningkatan kapasitas tenaga angin dan surya menjadikan AS sebagai produsen energi angin terbesar kedua dan produsen energi surya lima terbesar di dunia. Negara bagian seperti Texas, California, Florida, dan Nevada telah melihat lonjakan pesat dalam pemasangan energi surya, didorong oleh penurunan biaya dan kebijakan yang mendukung.
Implikasi dan Tantangan ke Depan
Laju penurunan harga batu bara dan dorongan kuat menuju energi terbarukan menghadirkan tantangan serius bagi industri batu bara, terutama bagi eksportir besar seperti Indonesia. Upaya Bahlil untuk menstabilkan harga melalui kebijakan HBA memiliki implikasi yang luas, tidak hanya bagi pelaku industri dalam negeri tetapi juga bagi hubungan perdagangan internasional Indonesia.
Sementara itu, transisi global menuju energi terbarukan berpotensi mengubah lanskap energi dunia, menggeser peta kekuatan tradisional industri energi fosil. AS, dengan posisi terdepannya dalam produksi biofuel dan energi terbarukan, menunjukkan tren global yang mungkin akan diikuti negara-negara lain.
Sebagai catatan tambahan, AS tidak hanya memimpin dalam energi angin dan surya tetapi juga dalam produksi biofuel, memanfaatkan sumber daya pertanian yang melimpah di wilayah Midwest untuk mendominasi pasar global etanol dan biodiesel.
Kedepannya, perlu ada adaptasi dari pihak Indonesia terhadap tren global ini, tidak hanya dengan menyesuaikan kebijakan harga ekspor tetapi juga dengan mengantisipasi dinamika yang berkembang di sektor energi. Hal ini penting untuk memastikan keberlanjutan dan daya saing ekspor batu bara Indonesia di pasar global.
Dinamika harga batu bara dan perubahan kebijakan terkait akan terus menjadi perhatian penting, sejalan dengan perkembangan teknologi energi dan kebijakan perubahan iklim yang semakin ketat di tingkat internasional.