Nikel

Pemerintah Perlu Evaluasi Kembali Kebijakan Pemangkasan Kuota Produksi Nikel

Pemerintah Perlu Evaluasi Kembali Kebijakan Pemangkasan Kuota Produksi Nikel
Pemerintah Perlu Evaluasi Kembali Kebijakan Pemangkasan Kuota Produksi Nikel

Industri nikel kembali menjadi sorotan setelah Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan pemangkasan kuota produksi nikel. Langkah ini dianggap perlu guna menjaga keseimbangan pasar dan stabilitas ekonomi di sektor tambang nikel, yang merupakan salah satu komoditas vital Indonesia.

Dalam kesempatan wawancara seusai Rapat Laporan Kinerja APNI 2024 di Kantor DPP APNI pada Kamis, 30 Januari 2025, Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Umum (Sekum) APNI, menjelaskan bahwa pemangkasan kuota saat ini dianggap sulit dilakukan. Alasannya adalah Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang sudah disetujui untuk jangka waktu tiga tahun ke depan, sehingga sulit untuk diubah secara mendadak.

"Kan tidak mungkin. Bagaimana pemangkasan kuota bisa dilakukan jika RKAB sudah disetujui untuk tiga tahun? Itu tidak mungkin, kecuali RKAB diajukan setiap tahun," tegas Meidy Katrin Lengkey.

Permasalahan RKAB dan Dampaknya

RKAB merupakan landasan operasional bagi perusahaan tambang dalam merencanakan produksi dan anggaran biaya mereka. Ketidakmungkinan untuk mengubah RKAB yang sudah disetujui menjadikan perusahaan yang sudah mendapatkan izin produksi beroperasi sesuai dengan perencanaan awal mereka. Dengan demikian, mencabut kuota produksi yang telah disetujui menjadi hampir tidak mungkin dilakukan tanpa mengganggu stabilitas perusahaan.

"Pemerintah sebenarnya dapat meninjau kembali kapasitas permintaan dan jumlah RKAB yang diberikan agar tetap seimbang. Namun, karena RKAB kini disetujui untuk tiga tahun, banyak perusahaan yang sudah memperoleh persetujuan, dan izin tersebut tidak bisa begitu saja dicabut," tambah Meidy.

Pengaruh Kebijakan Internasional

Tidak hanya faktor domestik yang harus diperhatikan, kebijakan energi internasional, khususnya dari Amerika Serikat, juga memiliki dampak signifikan terhadap pasar nikel. Dengan terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS, sejumlah kebijakan terkait kendaraan listrik (EV) mengalami perubahan signifikan, termasuk pencabutan mandat EV dan keputusan AS untuk keluar dari Paris Agreement.

“Tentu ini berpengaruh terhadap produksi bahan baku baterai, dan otomatis berdampak juga pada nikel kita,” jelas Meidy lebih lanjut.

Kondisi Pasar Nikel Global

Harga nikel di London Metal Exchange (LME) pada 30 Januari 2025 dilaporkan sebesar US$15.394 per dmt. Harga ini masih berada di bawah tekanan akibat surplus pasokan dan melemahnya permintaan di pasar global. Ketidakstabilan harga ini secara langsung dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi dan keputusan strategis di tingkat global.

Sejalan dengan itu, libur Imlek di beberapa negara juga berkontribusi pada ketidakstabilan pasar. Banyak perusahaan hilir yang menyelesaikan stok lebih awal, menyebabkan stagnasi di pasar spot. Permintaan domestik di Indonesia sendiri cenderung lemah pada bulan Januari, walaupun pasokan tetap tinggi. Ini kontras dengan penurunan produksi yang dilakukan oleh beberapa perusahaan tambang dalam negeri.

Data dari Shanghai Metals Market (SMM) mengungkapkan bahwa total inventaris di enam wilayah mencapai 41.273 mt, dengan surplus pasokan yang masih belum berubah. Hal ini menandakan bahwa meskipun ada upaya untuk mengurangi produksi, stok yang tersedia masih cukup tinggi.

Prospek Ke Depan

Memasuki bulan Februari, industri diperkirakan akan tetap menghadapi periode sepi, terutama akibat dampak lanjutan dari libur Imlek tersebut. Dengan kondisi surplus pasokan yang terus berlanjut, produksi nikel diperkirakan akan turun sebesar 0,4% secara bulanan (MoM) namun meningkat 22% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (YoY).

Oleh karena itu, perwakilan APNI berharap pemerintah lebih bijak dalam menentukan kebijakan kuota produksi yang adil dan relevan dengan kondisi pasar saat ini serta masa depan. Optimalisasi ini diperlukan agar sektor pertambangan nikel dapat terus berkembang dan berkontribusi positif terhadap ekonomi nasional sekalipun dalam kondisi pasar yang tidak menentu.

Melalui upaya evaluasi kebijakan yang tepat serta mempertimbangkan kestabilan pasar global dan nasional, diharapkan Indonesia mampu mempertahankan posisinya sebagai salah satu produsen nikel terbesar di dunia dan tetap dapat memenuhi kebutuhan pasar dengan pasokan yang stabil serta harga yang kompetitif.

Dengan kebijakan yang lebih adaptif dan responsif, diharapkan dampak dari fluktuasi global bisa diminimalisir, memungkinkan produsen nikel lokal untuk tetap bertumbuh dan menghasilkan devisa bagi negara. Sebagai langkah strategis, meninjau ulang kebijakan seperti RKAB setiap tahun bisa menjadi solusi yang lebih dinamis untuk menyesuaikan dengan perubahan terus menerus dalam kebutuhan pasar dan kebijakan global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index