Di tengah hingar-bingar tentang potensi besar cadangan minyak di Blok Warim, orang asli Papua di daerah Agimuga, Kabupaten Mimika, menyuarakan penolakan keras terhadap rencana pengembangan wilayah tersebut. Warga takut tragedi berdarah yang pernah menimpa mereka pada 1977 kembali terulang.
Blok Warim: Potensi Migas Terbesar di Indonesia
Blok Warim memiliki potensi minyak bumi dan gas seluas 23.778 kilometer persegi, konon lebih besar daripada Blok Rokan di Riau yang sebelumnya menyandang status ladang minyak terbesar Indonesia. Potensi blok ini diyakini mencapai 25-30 miliar barrel, jauh melampaui cadangan Blok Rokan yang kini diprediksi tersisa 500 juta hingga 1,5 miliar barrel saja. "Ini besar sekali. Belum pernah ada angka yang sebesar ini," kata Profesor Benyamin Sapiie, geolog dari Institut Teknologi Bandung, yang terlibat dalam riset potensi Blok Warim.
Meski pemerintah menganggap Blok Warim sebagai tambang emas baru dalam sektor energi, warga Agimuga menolak tegas rencana pengembangan. Mereka khawatir, eksploitasi migas di wilayah ini akan mengusik ketenangan mereka dan memicu konflik bersenjata seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
Mengapa Warga Menolak?
Masyarakat di Agimuga khawatir jika eksploitasi migas berlaku, tanah mereka akan terampas seperti yang terjadi saat perusahaan tambang Freeport mulai beroperasi. Cemas akan tersingkir dari tanah leluhur sudah bercokol lama dalam benak mereka. Manu Deikme, mahasiswa asal Mimika, dalam sebuah demonstrasi di depan Kantor ESDM Jakarta mengungkapkan bahwa warga Papua hanya "menikmati ampas dari hasil pengurasan" dan sekadar menjadi penonton "di atas segala kekayaan mereka."
Sejarah kelam masa lalu juga menjadi salah satu pemicu utama penolakan warga. Pada 1977, milisi pro-kemerdekaan Papua menyerang fasilitas pertambangan di wilayah mereka. Peristiwa itu, yang kemudian dikenal sebagai 'Tragedi 1977', menjadi bagian dari ingatan kolektif. Warga mengingat dengan jelas operasi militer yang menyusul, menyisakan jejak duka dan trauma berkepanjangan.
Yosepha Alomang, seorang perempuan Amungme yang mengalami peristiwa tersebut, mengisahkan bagaimana orang-orang di lingkungannya terpaksa lari ke hutan demi menyelamatkan diri dari kekerasan. "Lapar lalu mati. Terluka, mati," begitu dia menceritakan pengalamannya saat menjadi pengungsi bersama ratusan warga lainnya.
Warga Merasa Terabaikan
Selama ini, warga lokal merasa terpinggirkan dan sering kali diabaikan dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan tanah mereka. Pernyataan Tutuka Ariadji, Direktur Jenderal Migas di Kementerian ESDM bahwa "sosialisasi kepada warga sudah dilakukan dinas setempat," dibantah keras oleh penduduk Agimuga. Mereka mengaku tidak pernah ada sosialisasi seperti yang diklaim pemerintah.
Benny Sapiie, dengan pemahaman geologisnya, menilai bahwa situasi di Papua memang tidak seperti di daerah lain di Indonesia. Meskipun mengakui bahwa isu sosial pasti ada di setiap proyek migas dan tambang, namun, "di Papua itu tidak bisa".
Kecemasan Lingkungan dan Sosial
Selain kekhawatiran tentang kekerasan, potensi kerusakan lingkungan akibat pertambangan di Blok Warim menjadi perhatian utama. Pendangkalan sungai akibat limbah tambang di masa lalu telah membatasi akses transportasi tradisional yang vital bagi kehidupan mereka. Kris Pogolamun, seorang warga Agimuga, menggambarkannya sebagai "puji Tuhan, kini masih bisa tembus."
Kris dan Yulianus Tsolme, kepala Kampung Emkomalama, harus menantang ombak tinggi Laut Arafura untuk pulang ke desanya, setelah pendangkalan sungai membuat perjalanan mereka semakin berbahaya. Padahal sebelumnya, jalur sungai merupakan satu-satunya akses utama menuju kampung mereka.
Menantikan Respons Pemerintah
Warga Agimuga melalui berbagai demonstrasi dan protes sudah menyuarakan keberatan mereka terhadap rencana pengembangan Blok Warim. Pemerintah pusat diminta untuk lebih terbuka dan aktif melibatkan masyarakat adat dalam setiap langkah pengembangan yang direncanakan. Hingga kini, respon konkret terhadap berbagai penolakan tersebut masih ditunggu oleh penduduk lokal.
Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM, saat ditanyai mengenai isu ini, mengatakan "belum ada update". Pernyataannya tersebut semakin membuat warga khawatir dan merasa tidak dipedulikan.
Sejumlah aktivis lingkungan dan pegiat ham menggambarkan situasi ini sebagai suatu ujian bagi pemerintah Indonesia dalam menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, sejalan dengan komitmen terhadap kesetaraan dan keadilan lingkungan.
Masa Depan Blok Warim di Tangan Warga Papua?
Berbagai janji kemajuan ekonomi dan pembangunan yang dibawa proyek migas seperti Blok Warim sering kali harus berhadapan dengan realitas sosial dan lingkungan yang dihadapi masyarakat lokal. Dengan rencana lelang kembali Blok Warim oleh pemerintah pada 2023, nasib tanah dan masa depan Blok Warim kini bergantung pada bagaimana pemerintah mampu merangkul aspirasi masyarakat Papua.
"Kalau ada keadilan di Papua, tak perlu diragukan, kami akan mendukung pengembangan apapun," ujar seorang warga Agimuga yang kini berusia lanjut. Namun selama keadilan sosial dan lingkungan belum terwujud, potensi minyak miliaran barrel di Blok Warim hanya akan menjadi potensi konflik baru yang terus memanas.
Demikianlah kilasan cerita dari Agimuga, di mana suara dan keprihatinan masyarakat adat Papua atas pengembangan Blok Warim seharusnya mendapat tempat dan perhatian yang serius dari semua pihak yang terlibat.