Dalam era yang semakin didominasi oleh kebutuhan akan energi lestari, transisi menuju energi bersih bukan hanya menjadi satu tantangan, tetapi juga solusi strategis untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan bagi Indonesia. Ini ditegaskan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) yang baru-baru ini mengekspresikan ketidaksetujuannya terhadap pernyataan dari Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim S. Djojohadikusumo, terkait Just Energy Transition Partnership (JETP). Pada ESG Sustainability Forum 2025, Hashim menyebut bahwa JETP gagal karena tidak ada dana yang cair, merujuk pada situasi era Presiden Trump kala Amerika Serikat keluar dari Persetujuan Paris.
IESR menilai bahwa pernyataan Hashim tidak berdasar dan tidak sesuai dengan realita sesungguhnya dari JETP. Berdasarkan penilaian yang disepakati oleh Pemerintah Indonesia bersama International Partners Group (IPG), JETP justru diwujudkan untuk mempercepat transisi energi di sektor kelistrikan dengan target emisi maksimal 290 juta ton CO2 pada tahun 2030. Dalam rangka mencapai target ini, komitmen dana sebesar US$ 20 miliar telah disepakati, yang separuhnya datang dari IPG dan sisanya dari Glasgow Financial Alliance for Net-Zero (GFANZ), melalui sejumlah bank dan lembaga keuangan.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pendanaan JETP tidak berbentuk bantuan langsung tunai, tetapi didistribusikan melalui berbagai skema dari setiap negara dalam IPG. Ini termasuk hibah, bantuan teknis, ekuitas, dan kolaborasi pendanaan bilateral atau multilateral, serta pembiayaan komersial proyek.
Strategi Percepatan Transisi Energi
Pada 2023, JETP telah menginisiasi Comprehensive Investment Policy Plan (CIPP) yang mendetailkan skema pendanaan untuk proyek energi terbarukan, infrastruktur jaringan, penyimpanan energi, dan transisi yang adil dengan total kebutuhan pendanaan sekitar US$ 97 miliar hingga 2030. Sebagian besar proyek yang diusulkan sudah terdaftar dalam RUPTL PLN 2021-2030, dengan adanya proyek baru yang akan mengakselerasi bauran energi terbarukan.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, telah mendesak Pemerintah Indonesia untuk menambah komitmen terhadap transisi energi, menargetkan net-zero pada 2060 atau lebih cepat. "Transisi energi adalah prasyarat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045," ujarnya. Menurut Fabby, Pemerintah harus melanjutkan program transisi tanpa terpengaruh kebijakan "American First" era Trump.
Dalam memperkuat komitmen ini, IESR mengusulkan langkah-langkah berikut:
1. Menyusun Satgas Transisi Energi Nasional baru yang efektif di bawah presiden baru, untuk memimpin percepatan transisi.
2. Mempercepat reformasi kebijakan yang menghambat pengembangan energi terbarukan, sebagaimana dirinci dalam CIPP.
3. Menyesuaikan target JETP dalam perencanaan energi nasional seperti KEN, RUKN, dan RUPTL.
4. Menyegerakan persetujuan pensiun dini PLTU Cirebon I dengan skema ETM, yang telah lama diundur.
IESR juga mengomentari pernyataan Hashim terkait operasional PLTU batubara yang dinilai IESR sebagai ancaman "bunuh diri ekonomi" jika dipertahankan. Menurut Fabby, "Mempertahankan batubara dan mengabaikan potensi energi terbarukan dapat melemahkan daya saing ekonomi Indonesia di kawasan ASEAN, serta mengurangi minat investasi global."
Manfaat Ekonomi dan Lingkungan
Lebih lanjut, IESR memproyeksikan manfaat ekonomis yang signifikan bila PLTU batubara dapat dihentikan lebih dini. Berdasarkan studi IESR, penghentian PLTU ini diperkirakan dapat menghemat biaya subsidi listrik dan biaya kesehatan masing-masing sebesar US$ 34,8 miliar dan US$ 61,3 miliar. Efisiensi ini diduga lebih tinggi dibandingkan perkiraan kerugian dari aset mangkrak maupun biaya lainnya.
Dukungannya terhadap masa depan energi terbarukan juga ditegaskan dengan keinginan Presiden Prabowo untuk mengakhiri semua PLTU batubara pada tahun 2040 dan mengadopsi 100 persen energi terbarukan sebelum 2050. Ini sejalan dengan komitmen global yang disampaikan dalam APEC dan G20.
Dengan demikian, transisi energi bersih bukan sekedar kebutuhan, tetapi sebuah kesempatan yang perlu disambut oleh Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Fabby menuturkan, "Pemerintah harus mengimplementasikan rencana ini melalui perencanaan kelistrikan nasional yang kongkrit."
Masa depan Indonesia, dengan pangsa besar terhadap energi terbarukan, menanti langkah berani dan inovatif dalam kebijakan energi. Ini tidak hanya memungkinkan peningkatan kemandirian energi nasional tetapi juga memastikan kepemimpinan Indonesia dalam lanskap ekonomi global yang lebih bersih.