JAKARTA - Kebijakan energi terbaru yang digarap pemerintah Indonesia baru-baru ini telah menuai kritik, khususnya terkait upaya yang dinilai bertentangan dengan inisiatif pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto di awal masa kepemimpinannya. Langkah yang diambil Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk meningkatkan produksi lifting minyak dan gas (migas) mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Fahmy Radhi, menilai bahwa sejauh ini belum terlihat hasil riil dari kebijakan pemerintah di sektor ESDM dalam 100 hari pertama kerja. Mengomentari hal ini, Fahmy mengatakan, "Masalahnya, kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia tidak mendukung, bahkan bertentangan dengan komitmen Prabowo. Kebijakan Bahlil untuk menggenjot lifting minyak dan produksi batu bara mencederai terhadap komitmen Prabowo," ujarnya kepada Koran Jakarta.
Kebijakan yang Kontradiktif
Dalam upaya mencapai swasembada energi selama 4-5 tahun, Presiden Prabowo Subianto sebenarnya telah berkomitmen untuk memanfaatkan sumber energi yang berlimpah di Indonesia dan mengalihkannya menjadi EBT. Namun, kebijakan ESDM yang terbaru justru berusaha untuk meningkatkan produksi energi fosil, yang secara langsung berlawanan dengan komitmen tersebut. Tak hanya lifting migas yang menjadi sorotan, inisiatif dari DPR untuk memberikan konsesi pertambangan kepada perguruan tinggi juga menuai kontroversi. Kebijakan ini dinilai meningkatkan produksi energi batu bara, yang sejatinya merupakan energi kotor yang berpotensi merusak lingkungan.
Fahmy menambahkan, "Kalau Prabowo membiarkan Kebijakan Bahlil dan DPR berlanjut, maka komitmen Prabowo tak lebih sekedar omong-omong belaka."
Tantangan Implementasi Transisi Energi
Selain itu, tantangan juga datang dari aspek lain. Menurut Atina Rizqiana, Peneliti di Center of Economic and Law Studies (Celios), hingga saat ini Indonesia belum memiliki rencana terperinci untuk memastikan kelancaran pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) secara bertahap. Data dari Global Energy Monitor menunjukkan bahwa Indonesia masih mengoperasikan 249 PLTU dengan kapasitas terpasang sekitar 46 GW pada 2023.
Pemerintah telah berulang kali menyatakan komitmennya untuk mempercepat transisi energi dengan cara mempensiunkan dini PLTU sebagai bagian dari upaya mencapai target Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDC) dan pengurangan emisi karbon. Namun, Atina mengkritisi bahwa komitmen ini terlihat setengah hati dalam implementasinya.
Dia memberi contoh penundaan penutupan PLTU Cirebon 1, yang hingga kini belum terealisasi meskipun telah diumumkan secara luas sebagai bagian dari strategi transisi energi. "Ketidakjelasan serupa juga terlihat pada janji pemerintah dalam mempensiunkan 13 PLTU lain, yang daftar resminya tidak pernah diumumkan secara konkret," tegas Atina.
Peningkatan Lifting Minyak
Di sisi lain, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia kembali menekankan target peningkatan lifting minyak hingga mencapai 900 ribu - 1 juta barel per hari pada 2028 - 2029 sebagai bagian dari upaya mencapai ketahanan dan swasembada energi yang termasuk di dalam visi Asta Cita. Bahlil menjelaskan bahwa kondisi saat ini sangat berbeda dibandingkan dengan 1996-1997, dimana lifting minyak mencapai 1,6 juta barel per hari dengan konsumsi sekitar 600 ribu barel per hari, sehingga Indonesia bisa mengekspor minyak sebesar 1 juta barel per hari.
"Pada 2024, dalam 2 bulan terakhir sekitar 690.000 barel. Sekarang, impor kita per hari itu 1 juta barel. Jadi, terbalik antara 1996-1997 dengan 2024," ujar Bahlil, menyoroti ketergantungan Indonesia pada impor minyak.
Menuju Kebijakan yang Konsisten
Persoalan transisi energi di Indonesia kini menjadi semakin kompleks dengan adanya kebijakan yang terlihat kontradiktif. Dengan dinamika ini, pemerintah perlu memberikan kejelasan dan konsistensi dalam kebijakannya agar dapat mencapai visi besar yang telah dicanangkan.
Indonesia memiliki peluang besar di sektor EBT dengan sumber daya alam yang melimpah. Namun, langkah untuk memaksimalkan potensi ini perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, termasuk pemerintah dan sektor swasta. Kolaborasi serta kebijakan yang sejalan dengan komitmen awal dapat menjadi kunci bagi Indonesia untuk mencapai swasembada energi yang berkelanjutan.