Energi

Utusan Presiden Indonesia Soroti Kegagalan Program JETP: Banyak Omon-omon

Utusan Presiden Indonesia Soroti Kegagalan Program JETP: Banyak Omon-omon
Utusan Presiden Indonesia Soroti Kegagalan Program JETP: Banyak Omon-omon

Dalam sebuah pernyataan yang mengejutkan, Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Sujono Djojohadikusumo, mengkritik tajam program Just Energy Transition Partnership (JETP) dan menyebutnya sebagai inisiatif yang gagal. Pernyataan ini disampaikan oleh Hashim dalam acara "ESG Sustainable Forum 2025," yang dipantau secara daring dari Jakarta, pada Jumat, 31 Januari 2025.

Hashim menyatakan bahwa meskipun telah berjalan selama dua tahun, JETP belum berhasil merealisasikan janji pendanaannya, terutama dari pemerintah Amerika Serikat. "JETP itu gagal, program gagal. Dua tahun berjalan, tetapi tidak satu dolar pun yang dikucurkan oleh pemerintah AS. Banyak omon-omon ternyata," tegas Hashim.

Apa Itu JETP?

JETP merupakan kemitraan global yang dibentuk untuk mempercepat transisi energi yang adil. Fokus utamanya adalah mengurangi efek perubahan iklim dan mencapai target pembangunan berkelanjutan. Program ini didesain untuk membantu negara-negara beralih dari ketergantungan pada energi fosil, seperti batu bara, ke energi terbarukan dengan pendekatan inklusif dan adil.

Dalam konteks ini, Hashim mengindikasikan bahwa komitmen pendanaan dari JETP tidak sesuai dengan kenyataan. Ini menjadi sorotan mengingat besarnya tantangan yang dihadapi negara-negara yang masih sangat bergantung pada energi berbasis fosil.

Peluncuran dan Perkembangan JETP

Program JETP pertama kali diperkenalkan pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) pada tahun 2021. Afrika Selatan menjadi negara pertama yang mendapat dukungan melalui skema ini. Sejak saat itu, model JETP diperluas untuk diimplementasikan di negara-negara lain, termasuk Indonesia, Vietnam, dan Senegal, yang memiliki ketergantungan tinggi pada energi fosil.

Penandatanganan kesepakatan pada COP26 semula membawa harapan besar bahwa negara-negara maju akan memainkan peran sentral dalam mendukung transisi energi di negara-negara berkembang. Namun, ketiadaan dana dari pihak-pihak seperti AS menjadi penghalang utama keberhasilan JETP.

Hashim menyebutkan bahwa kebijakan Amerika Serikat yang keluar dari Paris Agreement di bawah pemerintahan Donald Trump mempersulit realisasi hibah. "Jadi, saya kira, jangan berharap deh (pembiayaan) 20 miliar dolar AS," lanjut Hashim.

Komitmen dan Tantangan Pendanaan

Pengumuman Indonesia sebagai bagian dari JETP pada KTT G20 di Bali tahun 2022 semula disambut dengan optimisme tinggi. Negara-negara donor dan lembaga keuangan internasional berkomitmen untuk memberikan pendanaan sebesar 20 miliar dolar AS kepada Indonesia. Dana ini dimaksudkan untuk:

- Pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara
- Meningkatkan investasi dalam energi terbarukan
- Memastikan transisi yang adil bagi pekerja dan komunitas yang bergantung pada industri batu bara

Namun, janji yang belum terealisasi menimbulkan keraguan tentang masa depan program ini. Pendanaan seharusnya diorganisir melalui kerjasama Indonesia dengan International Partners Group (IPG), yang awalnya dipimpin oleh AS dan Jepang, dengan anggota antara lain Denmark, Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Norwegia, Prancis, dan Uni Eropa.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Transisi dari energi fosil ke energi terbarukan bukanlah tugas yang mudah bagi banyak negara berkembang. Selain dari sisi teknis dan pendanaan, program ini juga menghadapi tantangan sosial dan ekonomi yang signifikan. Pengurangan ketergantungan pada batu bara berarti perlu adanya langkah-langkah untuk meminimalisir dampak terhadap pekerja di sektor tersebut.

Salah satu upaya yang diharapkan dari JETP adalah menciptakan peluang kerja baru di sektor energi terbarukan serta memastikan bahwa pekerja dan komunitas yang terpengaruh mendapatkan dukungan yang diperlukan. Namun dengan kurangnya pendanaan, banyak yang meragukan kemampuan negara-negara ini untuk menjalankan transisi dengan mulus.

Harapan Baru atau Sekadar Janji?

Meski ada banyak hal yang masih harus diatasi, optimisme tetap ada di kalangan pengamat. Banyak yang berharap bahwa dengan adanya tekanan internasional serta peningkatan kesadaran publik mengenai perubahan iklim, negara-negara donor akan segera memenuhi janjinya.

Keberhasilan JETP tidak hanya penting bagi negara-negara penerimanya, tetapi juga bagi upaya global dalam memperlambat laju perubahan iklim. Dengan memperkuat kemitraan dan menepati janji, JETP bisa menjadi model transisi energi yang sukses di masa depan.

Pada akhirnya, Hashim menegaskan pentingnya keberlanjutan dan kemitraan nyata dalam menangani isu-isu iklim. Tidak hanya sekedar janji di atas kertas, tetapi tindakan konkret diperlukan untuk memastikan keberhasilan transisi energi global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index